Jakarta; 13Januari 2014 - Penangkapan terhadap Markus Haluk, Sekjen AMPTPI
dan sejumlah aktivis Papua oleh aparat saat hendak melakukan demonstrasi
penjemputan delegasi MSG di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP)
adalah bukti bahwa Indonesia tidak menghargai kebebasan orang Papua untuk
berekspresi menyampaikan aspirasinya.
 |
Andreas Harsono, Peneliti Indonesia dari Human Rights Watch (http://hrw.org)
|
“Penangkapan ini mencerminkan pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi di
Papua yang dijamin oleh hukum Indonesia maupun konvensi internasional.” kata
Andreas Harsono, peneliti Indonesia dari Human Rights Watch, Senin (13/1).
Menurut Andreas, penangkapan ini justru menjadi bukti buat delegasi MSG
bahwa hak-hak orang Papua sering dilanggar oleh aparat keamanan Indonesia.
Selama tidak ada aksi anarkis, lanjut Andreas, kebebasan dan hak orang
untuk berpendapat harus dihormati.
“Aparat harus hormati hak orang berpendapat. Selama mereka tak lakukan
kekerasan, selama tak ada bakar-bakar atau pukul orang, selama itu pula tak
boleh ada penangkapan,” tegas wartawan senior di Indonesia yang juga penulis buku tentang
Agama Saya adalah Jurnalisme dan
seorang Jurnalis dan Penulis buku laris tentang dunia jurnalisme,
penulis dan dunia perbukuan Indonesia dan beberapa buku lainnya ini.
“Pemerintah Indonesia harus hormati hak orang Papua. Alasan MSG datang ke
Jayapura karena pemerintah menawarkan MSG lihat sendiri keadaan di lapangan.
Kok orang protes malah ditangkap? Ini iklan buruk buat Indonesia,” tambahnya
lagi; Seperti terposting di media :
http://tabloidjubi.com/2014/01/14/andreas-harsono-penangkapan-sejumlah-aktivis-papua-iklan-buruk-bagi-indonesia/
Sementara itu, Ketua Umum Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat, Selpius Bobii
mengatakan, komitmen pimpinan negara-negara Melanesia Spearhead Group
(MSG) terkait soal Papua itu sekarang berada di ujung tanduk.
Mengapa?
Kata dia, ada anggota MSG tertentu belum dengan sepenuh hati
menghormati dan melaksanakan keputusan pimpinan MSG pada tanggal 21 Juni
2013 lalu. "Ketidak-konsistenan anggota MSG tertentu itu dapat dilihat
dari meningkatnya hubungan kerja sama dengan Negara Indonesia pasca KTT
MSG di Noume," kata dia.
Menurut Bobii yang juga tahanan Politik
Papua itu, hal itu terjadi karena Republik Indonesia memainkan peran
politik ganda, yaitu menekan gerakan aktivitas Papua merdeka dalam
negeri melalui berbagai operasi militer baik secara terbuka maupun
tertutup dan Republik Indonesia meningkatkan perang kampanye dan
diplomasi kepada anggota MSG tertentu. Tentu dalam perang diplomasi itu
didukung dengan berbagai tawaran lainnya.
"Republik Indonesia
juga tentu meminta dukungan dari negara lain, seperti Australia dan
Selandia Baru untuk mempengaruhi para anggota MSG," kata dia dalam
keterangannya.
Kata dia, untuk memuluskan upaya-upaya Republik
Indonesia itu, selama 6 bulan lebih Republik Indonesia tidak mengundang
para Menlu MSG ke Indonesia. Setelah 6 bulan lewat, Republik Indonesia
mengundang para Menlu MSG berkunjung ke Indonesia.
Ia menuding,
dalam kunjungan ini, ada upaya-upaya Republik Indonesia, antara lain
tidak mau memberi akses bagi para Menlu MSG untuk bertemu dengan rakyat
Papua, organisasi perjuangan dan para tahanan politik Papua.
Bobii
menjelaskan, "Semua upaya Republik Indonesia ini dilakukan dengan
tujuan menggagalkan upaya bangsa Papua Barat untuk menjadi anggota resmi
dalam forum MSG. Saat ini seluruh makhluk hidup yang ada di kawasan
Melanesia dan solidaritas internasional sedang mengamati gerak langkah
dan haluan politik dari forum MSG yang diwakili oleh para Menlu MSG ke
Indonesia: Apakah forum MSG tetap komitmen dengan sikap awal atau akan
berubah? Kenapakah anda takut? Bukankah Tuhan bersama kita?" Tanya Bobii; Seperti terposting di media
: http://majalahselangkah.com/content/-selpius-bobii-komitmen-msg-terkait-soal-papua-di-ujung-tanduk.
Mama Yosepha mengaku dirinya di tarik-tarik polisi saat membubarkan
puluhan pengunjuk rasa di kantor rakyat tadi pagi. Karena dirinya
bersama puluhan aktifis lainnya datang ke DPRP untuk menyampaikan
aspirasi dari Rakyat Papua.
“Saya bawa harga diri saya untuk menyampaikan aspirasi kepada
perwakilan rakyat, saya tidak melakukan kekerasan. Karena kantor DPRP
ini untuk aspirasi masyarakat,” tegas penerima penghargaan The Goldman
Enviromental Prize 2001 prestisius bidang HAM dan lingkungan hidup dari
Amerika pada tahun 24 April 2001 silam, Senin (13/01).
Dirinya tidak di hargai sama sekali oleh polisi, lanjut Mama Yosepha,
kenapa polisi lakukan hal seperti itu kepada dirinya. Sebenarnya apa
yang Negara Indonesia buat ini tidak patut di puji.
“Segala hal saya yang mengamankan, tapi saya dibuat seperti ini,
punya niat untuk bunuh saya. Sedangkan saya yang menyelamatkan mereka,
saya di tarik-tarik polisi,” kata Mama Yosehpa sambil menunjukkan jas
hujannya yang robek dan tidak bisa digunakan lagi akibat pembubaran
tersebut.
Lanjut Mama Yosepha, kejadian itu saat dirinya hendak naik mobil yang
mau bawa Markus Haluk ke Polresta. “Saya mau naik mobil, disepak
keluar” tuturnya. “Heran saya sudah tua begini mau buat apa,” tambah
Mama Yosepha.
Hal senada juga dikatakan, Ketua I KNPB Pusat, Agus Kosay kepada
sejumlah wartawan di Mapolres Jayapura Kota. Agus menuturkan bahwa
pembubaran tadi aparat keamanan datang langsung menyita atribut yang
digunakan untuk unjuk rasa.
“Polisi menyita alat-alat yang kami bawa, spanduk dan lain-lain. Kami
tadi sampaikan bahwa kami tidak lakukan tindakan anarkis, tapi mereka
tetap bersikeras mengamankan spanduk yang kami bawa. Ada beberapa orang
dari rekan-rekan kami saat di bubarkan, polisi lakukan tindakan keras
seperti ke mama yosefa dan rekan-rekan yang lain; seperti terposting di media :
ttp://tabloidjubi.com/2014/01/13/mama-yosepha-jadi-korban-kererasan-pembubaran-aksi-unjuk-rasa-oleh-polisi/
Tidak ada komentar: