Beny Giyai ( Foto Majalah Selangkah ) |
Besok paginya, mereka suruh saya dan adik dan kami beberapa teman disuruh baris; orang tua mereka sambil taruh tangan di kepala, putar tali dengan tangan di kepala kami, sambil ucapkan doa; semoga berhasil jalan dalam ziarah; di tengah jalan hadapi kelaparan, hujan, dingin, perang, kejahatan dan sebagainya. Lalu satu warga lepas panah, kami disuruh lari pergi ambil panah itu dan cari lalu bawa kembali.
Belakangan saya mengerti, ini salah satu cara kultur kami siapkan anak-anak sejak dini bahwa hidup itu begitu. Tidak mulus, ada banyak duri.
Satu tahun kemudian, kami masuk sekolah dan juga aktif di sekolah minggu. Sejak itu, di sekolah minggu dan di sekolah dasar tidak ada ruang untuk bicara tentang kelaparan, perang, konflik, yang penting terima Injil atau sekolah baik nanti jadi pegawai, dapat gaji, tinggal di kota, dan semua aman.
Kita akan happy.
Saya kira bagi sebagian dunia itu masih begitu. Baru belasan tahun terakhir saya ingat kembali ritual kecil di kampung itu; saat beberapa kali terlibat dalam pemakaman para aktivis Papua yang meninggal (ada yg ditemukan tewas). Beberapa insiden yang ingatkan saya itu dalam pemakaman Arnold Ap, Aten Agapa, Mako Tabuni, dan seorang warga yang ditembak di depan GOR (Gedung Olahraga) Jayapura saat tolak Otsus (Otonomi Khusus), anak-anak muda yang tewas di jalan-jalan.
Saya ingat Pak Pendeta Yoman yang telepon saya, 4 atau 5 tahun lalu, dia pergi makamkan sendiri dengan temannya seorang warga yang ditemukan tewas dan dibuang di parit. Saya juga ingat pernyataan seorang teman, "Tugas pendeta itu hanya urus pemakaman". Pernah ada percakapan kecil tentang ini antara saya, Pak Pendeta Noakh Nawipa dan Pak Pendeta Yoman.
Semua ini ingatkan bahwa ada yang tidak dibuka di mimbar gereja dan di buku teks di sekolah-sekolah kita. Ada sisi gelap yang tidak dibuka; hanya terang yang diangkat-angkat. Sementara, dunia yang kita jalani: sisi madu dan racun. Termasuk dalam diri kita.
Dalam diri kita ada dorongan bawaan untuk berbuat dan yang merusak atau membunuh. Saat sekitar 15 warga terbunuh di Timika dalam perang antarwarga di Timika kota, 2 tahun lalu dengan pendeta kami berbicara bagaimana buat program untuk jaga yang baik dan kurangi yang jahat; tetapi waktu mau ketemu kedua pihak yang perang; kami gagal karena dihalangi, sebelum kami ketemu kedua belah pihak, TNI PORLI sudah serang masyarakat yang siap-siap untuk bertemu Gereja bagaimana berdamai.
Sehingga program damai tidak ada tempat lagi. Semua perkembangan di Papua 30 tahun terakhir ini mendesak dan mengingatkan saya kepada ritual kecil di kampung itu. Barangkali sisi ini yaitu: aspek kekerasan yang destruktif yang terus berkuasa d Papua ini juga harus masuk di kurikulum sekolah dari SD PT di Papua dan mimbar gereja; pembinaan di dua lembaga di arahkan untuk promosikan yang nilai-nilai baik dari dalam diri kita, tetapi juga yang diusahakan oleh adat dan gereja.
Dewasa ini kita di gereja dan pemerintah bicara tentang Papua tanah damai, tetapi kekerasan jalan terus di luar halaman gereja dan gedung-gedung sekolah kita. Suara mahasiswa dan jemaat; Papua bukan ''Tanah Damai', tetapi 'Tanah darurat'; ini juga harus diberi ruang untuk didengar.
Pendeta Dr. Benny Giay adalah Ketua Sinode Gereja Kingmi di Tanah Papua.
Sumber : www.Suara Indenpen.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar