Most Popular
This Week
Sebuah Peristiwa Pengibaran Bendera Bersejarah Sinyal Kebangkitan untuk Nasib Papua Barat
Klaim Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri adalah mendapatkan dasar internasional . Tapi untuk ini menjadi kenyataan , lebih banyak pe...
Terbatasnya Tenaga Pelayanan Kesehatan di Meuwodide
Sedang santai dengan kediamannya, setelah Yogi pulang kampus (Foto Zaver Yogi/ Moyai) Bandung, - Fasilitas kesehatan berupa Puskesm...
Popular Posts
Latest Stories
What is new?
Comments
What They says?
Sejarah Kemerdekaan dan Dinamika Politik Penjajahan di Papua Barat
(Sebuah
Pendidikan Politik Untuk Menjadi Mahasiswa Pejuang)
A. Pengantar
UNTUTAN rakyat
Papua Barat untuk merdeka lepas dari neo-kolonialisme Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dan neo-kapitalisme Negara Dunia Pertama kini sedang menggema
di seantero wilayah Papua Barat. Setelah sebelumnya tuntutan itu dilakukan
secara gerilya dan diplomasi di luar negeri (internasional), maka sejak
bergulirnya Reformasi di Indonesia (1998) tuntutan itu disampaikan secara
terbuka, terutama di Indonesia tanpa meninggalkan tuntutan dengan cara gerilya.
Sementara
tuntutan itu bergulir, Indonesia yang secara real politik menguasai wilayah
Papua Barat dan Negara Dunia Barat yang secara real ekonomi yang menguasai
Papua Barat “keras kepala” untuk tidak mendengarkan tuntutan kemerdekaan
tersebut. Tuntutan kemerdekaan Papua Barat dianggap sebagai sebuah upaya ilegal
(melawan hukum atau tidak sah) sehingga rakyat Papua Barat diberikan beberapa
cap konyol seperti separatis, makar, anti pembangunan, goblok,
pemberontak dan lainnya. Semua cap ini menjadi “surat izin” yang resmi bagi
Indonesia dan Negara Dunia Pertama untuk tetap menanamkan hegemoninya lewat
praktek penjajahan seperti pemberian “paket” Otonomi Khusus, Pemekaran Wilayah
(Propinsi/Kabupaten), pembunuhan, pemerkosaan, penanggapan dan pemenjaraan
sewenang-wenang di luar jalur hukum, penyiksaan dan beberapa jenis kejahatan
lainnya.
Walaupun
demikian, rakyat Papua Barat yang berpegang teguh pada keyakinan politiknya
tidak menyerah. Sebaliknya “api perjuangan” dikobarkan terus-menerus untuk
tetap melanjutkan aksi perlawanan dengan tuntutan utama “Papua Barat Merdeka”.
Tuntutan itu bisa dilihat dari beberapa kejadian, di mana-mana dan di berbagai
kalangan. Salah satu contoh adalah pembunuhan tiga orang Brimob yang menjaga
keamanan PT. Freeport-Rio Tinto oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat
(TPN-PB) dibawah pimpinan Gen. TPN-PB Goliath Tabun beberapa waktu lalu, 43
orang Papua mencari suaka politik ke Australia, aksi mahasiswa Papua Barat
dimana-mana dengan tuntutan peninjauan kembali status politik Papua Barat,
penarikan militer dari Papua Barat, tutup Freeport dan lainnya. Perjuangan itu
tidak hanya dilakukan di dalam negeri, di luar negeri pun perjuangan untuk
kemerdekaan Papua Barat sedang marak yang dilakukan oleh para diplomat Papua
Barat yang didukung oleh berbagai Support Groups of West Papua Independence.
Juga bukan hanya orang Papua asli yang memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat,
tetapi diperjuangkan juga oleh orang non-Papua baik di Indonesia maupun di luar
negeri.
Yang
menjadi pertanyaan adalah mengapa rakyat Papua Barat “keras kepala” untuk minta
merdeka? Mengapa Indonesia dan Negara Dunia Pertama juga “keras kepala” untuk
tetap mempertahankan wilayah Papua Barat sebagai bagian dari NKRI? Tentunya
punya alasan dan akar masalah. Untuk melihat alasan dan akar masalah, maka
sejarah Papua Barat harus dipaparkan dan dipahami secara benar, selanjutnya
harus dicari solusi atau upaya perjuangan yang harus dilakukan oleh rakyat
Papua Barat dan pendukungnya, tentu saja di dalamnya ada mahasiswa sebagai
bagian dari rakyat Papua Barat. Hal itu akan menjawab dua buah pertanyaan.
Pertama: mengapa rakyat Papua Barat menuntut merdeka? Kedua: apakah mahasiswa
Papua Barat harus berjuang untuk menuntut merdeka?
Untuk menemukan “akar masalah” Papua Barat
yang sesungguhnya, maka dibawah ini dipaparkan sekilas sejarah kemerdekaan
Papua Barat dan dinamika politik penjajahan di Papua Barat. Kemudian akan
dilanjutkan dengan sikap mahasiswa yang seharusnya dalam perjuangan kemerdekaan
Papua Barat.
B. Hubungan Sejarah Indonesia dan Papua
Barat
idak dapat
dipungkiri bahwa pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia sebagai bagian dari
wilayah negaranya didasarkan atas alasan sejarah. Sementara aksi pencaplokan
itu sendiri kini telah menjadi sejarah yang harus dipelajari dan dipahami untuk
dapat memetakan persoalan secara obyektif, yang kemudian dilanjutkan dengan
aksi pencarian solusi yang terbaik bagi penyelesaian status politik wilayah
Papua Barat dalam kekuasaan Indonesia.
Dalam
rangka untuk menggali hubungan sejarah antara Indonesia dan Papua Barat, maka
beberapa hal perlu dikemukakan. Pertama, sejarah hidup Indonesia dan Papua
Barat. Kedua, sejarah perjuangan Indonesia dan Papua Barat dalam mengusir
penjajah. Ketiga, alasan pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia. Keempat,
sejarah kemerdekaan Papua Barat. Kelima, proses Penentuan Pendapat Rakyat
(PEPERA) 1969. Keenam, sejarah dalam kekuasaan Orde Baru dan terakhir masa kebangkitan
Papua Barat Kedua (Era Reformasi Indonesia).
1.
Sejarah Hidup Indonesia dan Papua Barat
Dalam sejarah hidup, rakyat Papua Barat telah menunjukkan bahwa mereka
mampu untuk mengatur hidupnya sendiri. Hal itu terlihat dari kepemimpinan
setiap suku, yang telah mendiami Papua Barat sejak lebih dari
50.000 tahun silam, dipimpin oleh kepala-kepala suku (tribal leaders).
Untuk beberapa daerah, setiap kepala suku dipilih secara demokratis sedangkan
di beberapa daerah lainnya kepala suku diangkat secara turun-temurun. Hingga
kini masih terdapat tatanan pemerintahan tradisional di beberapa daerah, sebagai
contoh: seorang Ondofolo masih memiliki kekuasaan tertentu di daerah Sentani
dan Ondoafi masih disegani oleh masyarakat sekitar Yotefa di Numbay.
Selain kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri (tidak dipengaruhi oleh
pihak asing), juga sangat nyata di depan mata bahwa antara Papua Barat dan
Indonesia mempunyai perbedaan yang sangat jauh. Bangsa Papua adalah ras Negroid
sedangkan bangsa Indonesia pada umumnya adalah ras Mongoloid. Dengan perbedaan
ras ini menimbulkan perbedaan yang lainnya, entah perbedaan fisik maupun
mental, dan kedua bangsa ini sama sekali tidak pernah mempunyai hubungan apapun
dalam sejarah kehidupan di masa silam. Masing-masing hidup sebagai bangsanya
sendiri dengan karakteristiknya yang berlainan pula. Sehingga tindakan
pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia ini dianggap tindakan menjajah. Hal itu
pernah diungkapkan oleh Wakil Ketua Presidium Dewan Papua, Tom Beanal, bahwa:
Dalam kehidupan sehariannya, moyang kami tidak pernah
melihat asap api kebun Indonesia apabila mereka berkebun. Moyang kami tidak
pernah bercerita kepada kami bahwa kami punya dendam perang dengan keturunan
Soekarno dan soeharto dan moyang bangsa Indonesia. Kami bangsa Papua tahu dan
sadar akan diri kami bahwa kami berbeda dengan bangsa Indonesia. …Bangsa Papua
termasuk ras Negroid mendiami kepulauan Melanesia di Pasifik selatan, karena bangsa Papua berbeda
dengan bangsa Indonesia lainnya yang umumnya masuk ras Mongoloid dan
Austronosoid yang mendiami kepulauan Melayu dan kepulauan Austronesia.”
Dari gambaran di atas, sangatlah jelas, bahwa antara Indonesia dan Papua
Barat sama sekali tidak mempunyai hubungan sejarah hidup yang sama yang bisa
menyatukan kedua bangsa dalam satu negara yang bernama Indonesia. Alasan bahwa
Indonesia dan Papua Barat mempunyai sejarah hidup yang sama sebagai sebuah
bangsa pada masa sejarah sema sekali tidak obyektif, sebaliknya menjadi alasan
politis untuk mengklaim Papua Barat sebagai bagian dari wilayah Indonesia. Hal semacam ini sering dibangun di
Indonesia untuk membangun nasionalisme Indonesia bagi orang Papua
(meng-Indonesia-kan orang Papua)
2.
Hubungan Sejarah Perjuangan Indonesia dan
Papua Barat
Indonesia (Sabang sampai Amboina) dijajah oleh Belanda selama 350 tahun,
sedangkan Papua Barat (Nederland Nieuw-Guinea) dijajah oleh Belanda selama 64
tahun. Walaupun Papua Barat dan Indonesia sama-sama merupakan jajahan Belanda,
namun administrasi pemerintahan Papua Barat diurus secara terpisah. Indonesia
dijajah oleh Belanda yang kekuasaan kolonialnya dikendalikan dari Batavia
(sekarang Jakarta), kekuasaan Batavia inilah yang telah menjalankan penjajahan
Belanda atas Indonesia, yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina. Kekuasaan Belanda
di Papua Barat dikendalikan dari Hollandia (sekarang Port Numbay), dengan batas
kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai Merauke.
Tahun 1908 Indonesia masuk dalam tahap Kebangkitan Nasional (perjuangan
otak) yang ditandai dengan berdirinya berbagai organisasi perjuangan. Dalam
babak perjuangan baru ini banyak organisasi politik-ekonomi yang berdiri di
Indonesia, misalnya Boedi Utomo (20 Mei 1908), Serikat Islam (1911), Indische
Partij (1912), Partai Komunis Indonesia (1913), Perhimpunan Indonesia (1908),
Studie Club (1924) dan lainnya. Dalam babakan perjuangan ini, terutama dalam
berdirinya organisasi-organisasi perjuangan ini, rakyat Papua Barat sama sekali
tidak terlibat atau dilibatkan. Hal ini dikarenakan musuh yang dihadapi waktu itu, yaitu Belanda
adalah musuh bangsa Indonesia sendiri, bukan musuh bersama dengan bangsa Papua
Barat. Rakyat Papua Barat berasumsi bahwa mereka sama sekali tidak mempunyai
musuh yang bersama dengan rakyat Indonesia, karena Belanda adalah musuhnya
masing-masing.
Rakyat Papua Barat juga tidak mengambil bagian dalam Sumpah Pemuda
Indonesia tanggal 28 Oktober 1928. Dalam Sumpah Pemuda ini banyak pemuda di
seluruh Indonesia seperti Jong Sumatra Bond, Jong Java, Jong Celebes, Jong Amboina,
dan lainnya hadir untuk menyatakan kebulatan tekad sebagai satu bangsa, satu
bahasa, dan satu tanah air. Tetapi tidak pernah satu pemuda pub dari Papua
Barat yang hadir dalam Sumpah Pemuda tersebut. Karena itu, rakyat Papua Barat
tidak pernah mengakui satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air yang namanya
“Indonesia” itu.
Dalam perjuangan mendekati saat-saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
tidak ada orang Papua Barat yang terlibat atau menyatakan sikap untuk
mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945.
Tentang tidak ada sangkut-pautnya Papua Barat dalam kemerdekaan Indonesia
dinyatakan oleh Mohammad Hatta dalam pertemuan antara wakil-wakil Indonesia dan
penguasa perang Jepang di Saigon Vietnam, tanggal 12Agustus 1945. Saat itu
Mohammad Hatta menegaskan bahwa “…bangsa Papua adalah ras Negroid, bangsa
Melanesia, maka biarlah bangsa Papua
menentukan nasibnya sendiri…”. Sementara Soekarno mengemukakan bahwa bangsa
Papua masih primitif sehingga tidak perlu dikaitkan dengan kemerdekaan bangsa
Indonesia. Hal yang sama pernah dikemukakan Hatta dalam salah satu persidangan
BPUPKI bulan Juli 1945.
Ketika Indonesia diproklamasikan, daerah Indonesia yang masuk dalam
proklamasi tersebut adalah Indonesia yang masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda,
yaitu “Dari Sabang Sampai Amboina”, tidak termasuk kekuasaan Nederland
Nieuw-Guinea (Papua Barat). Karena
itu pernyataan berdirinya Negara Indonesia adalah Negara Indonesia yang batas
kekuasaan wilayahnya dari Sabang sampai Amboina tanpa Papua Barat.
Tanggal 19 Agustus 1945 (dua hari setelah kemerdekaan Indonesia)
Indonesia dibagi dalam delapan buah Propinsi. Salah satu Propinsinya adalah
Maluku. Banyak kalangan berasumsi bahwa wilayah Papua Barat masuk dalam wilayah
Propinsi Maluku. Padahal secara nyata penguasaan wilayah Papua Barat dalam
kekuasaan Propinsi Maluku itu dipikirkan dan direalisasikan sejak pembentukan
sebuah Biro Irian pada tanggal 14 Desember 1953 yang bertugas mengadakan
penelitian mengenai daerah Indonesia yang bisa dijadikan sebagai jembatan untuk
merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Dari hasil penelitian itu, ternyata
pilihan jatuh pada wilayah Maluku Utara. Maka dengan lahirnya UU No. 15 Tahun
1956 tentang pembentukan Propinsi Irian Barat, Soasiu ditetapkan sebagai
ibukota Propinsi Irian Barat dengan Gubernur Zainal Abidin Syah (Sultan Tidore)
yang dikukuhkan pada 17 Agustus 1956 bersamaan dengan Peresmian Propinsi Irian
Barat Perjuangan.
Setelah peresmian Propinsi Irian Barat perjuangan, Papua Barat tetap
menjadi daerah sengketa antara Indonesia dan Belanda. Beberapa persitiwa
politik dalam memperebutkan Papua Barat oleh kedua bela pihak adalah:
a. Sebelum
penandatangan Perjanjian Lingggarjati pemerintah Belanda pernah menyatakan agar
Papua Barat dapat menerima status sendiri terhadap Kerajaan Belanda dan Negara
Indonesia Serikat menurut jiwa pasal 3 dan 4 Perjanjian tersebut. Jadi di sini
Belanda mengadakan pengecualian bagi Papua Barat agar kedudukan hukum wilayah
tersebut tidak ditentukan oleh Perjanjian Linggarjati.
b. Dalam
Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan di Den Haag Belanda tanggal 23
Agustus-2 November 1945 disepakati bahwa mengenai status quo wilayah
Nieuw Guinea tetap berlaku seraya ditentukan bahwa dalam waktu setahun sesudah
tanggal penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat, masalah kedudukan-kenegaraan
Papua Barat akan diselesaikan dengan jalan perundingan antara Republik
Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda.
Tetapi dalam kesempatan yang sama pula status Papua Barat (Nederland Niew
Guinea) secara eksplesit dinyatakan oleh Mohammad Hatta, Ketua Delegasi
Indonesia, bahwa “…masalah Irian Barat tidak perlu dipersoalkan karena bangsa
Papua berhak menjadi bangsa yang merdeka.”
c. Dalam
konferensi para menteri antara Belanda dan Indonesia yang dilaksanakan di
Jakarta pada tanggal 25 Maret-1 April dibentuk sebuah panitia gabungan dengan
surat Keputusan Para Menteri Uni Indonesia-Nederland No. MCI/C II/1/G.T.
Berdasarkan keputusan tersebut, masing-masing pihak mengangkat tiga orang
anggota sebelum tanggal 15 April 1950 dengan tugas untuk menyelidiki status Papua
Barat secara ilmiah untuk menentukan apakah layak masuk dalam kekuasaan
Indonesia atau Nederland. Akhirnya, berdasarkan hasil penyedikan masing-masing
pihak tidak ada pihak yang mengalah, sehingga wilayah Papua Barat masih
dipertahankan oleh Belanda. Selanjutnya disepakati bahwa penyelesaikan masalah Papua
Barat akan diselesaikan kemudian oleh United Nations Commission for Indonesia
tanpa batas waktu yang ditentukan.
d. Karena
dirasa wilayah Papua Barat dikuasai oleh Belanda, maka sejak tahun 1953 pihak
Indonesia membawa masalah Papua Barat ke forum internasional seperti
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Konferensi Asia Afrika.
Setelah semua perjuangan masing-masing pihak mengalami jalan buntu, maka
selanjutnya wilayah Papua Barat menjadi daerah sengketa yang diperebutkan oleh
Belanda dan Indonesia. Indonesia dan Belanda sama-sama mempunyai ambisi politik
yang besar dalam merebut Papua Barat.
3.
Sejarah Kemerdekaan Papua Barat
Ketika Papua Barat masih menjadi daerah sengketa akibat perebutan wilayah
itu antara Indonesia dan Belanda, tuntutan rakyat Papua Barat untuk merdeka
sebagai negara merdeka sudah ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia 17 Agustus
1945. Memasuki
tahun 1960-an para politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik lewat sekolah
Polisi dan sebuah sekolah Pamongpraja (Bestuurschool)[8] di
Jayapura (Hollandia), dengan mendidik 400 orang antara tahun 1944-1949 mempersiapkan
kemerdekaan Papua Barat.
Selanjutnya atas desakan para politisi dan negarawan Papua Barat yang
terdidik, maka pemerintah Belanda membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan
Nieuw Guinea). Beberapa tokoh-tokoh terdidik yang masuk dalam Dewan ini adalah
M.W. Kaisiepo dan Mofu (Kepulauan Chouten/Teluk Cenderawasih), Nicolaus Youwe
(Hollandia), P. Torey (Ransiki/Manokwari), A.K. Gebze (Merauke), M.B. Ramandey
(Waropen), A.S. Onim (Teminabuan), N. Tanggahma (Fakfak), F. Poana (Mimika),
Abdullah Arfan (Raja Ampat). Kemudian wakil-wakil dari keturunan Indo-Belanda
adalah O de Rijke (mewakili Hollandia) dan H.F.W. Gosewisch (mewakili
Manokwari).[9] Setelah
melakukan berbagai persiapan disertai dengan perubahan politik yang cepat
akibat ketegangan Indonesia dan Belanda, maka dibentuk Komite Nasional yang
beranggotakan 21 orang untuk membantu Dewan Nieuw Guinea dalam mempersiapkan
kemerdekaan Papua Barat. Komite ini akhirnya dilengkapi dengan 70 orang Papua
yang berpendidikan dan berhasil melahirkan Manifesto Politik yang isinya:[10]
1. Menetukan
nama Negara : Papua Barat
2. Menentukan
lagu kebangsaan : Hai Tanahku Papua
3. Menentukan
bendera Negara : Bintang Kejora
4. Menentukan
bahwa bendera Bintang Kejora akan dikibarkan pada 1 November 1961.
Lambang Negara
Papua Barat adalah Burung Mambruk dengan semboyan “One People One Soul”.
Rencana pengibaran bendera Bintang Kejora tanggal 1 November 1961 tidak
jadi dilaksanakan karena belum mendapat persetujuan dari Pemerintah Belanda.
Tetapi setelah persetujuan dari Komite Nasional, maka Bendera Bintang Kejora
dikibarkan pada 1 Desember 1961 di Hollandia, sekaligus “Deklarasi Kemerdekaan
Papua Barat”. Bendera Bintang Kejora dikibarkan di samping bendera Belanda, dan
lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan setelah lagu kebangsaan Belanda
“Wilhelmus”. Deklarasi kemerdekaan Papua Barat ini disiarkan oleh Radio Belanda
dan Australia. Momen inilah yang menjadi Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat
secara de facto[11]
dan de jure[12]
sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.
4.
Alasan Pencaplokan Papua Barat oleh
Indonesia
Walaupun Papua Barat telah mendeklarasikan diri sebagai negara yang
merdeka dan berdaulat, tetapi kemerdekaan itu hanya berumur 19 hari, karena
tanggal 19 Desember 1961 Presiden Soekarno mengeluarkan Tri Komando Rakyat di
Alun-alun Utara Yogyakarta yang isinya:
1. Gagalkan Pembentukan “Negara Boneka Papua” buatan
Belanda Kolonial
2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air
Indonesia
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan
kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa.
Realisasi dari isi Trikora
ini, maka Presiden Soekarno sebagai Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan
Irian Barat mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1962 yang memerintahkan
kepada Panglima Komando Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk melakukan operasi
militer ke wilayah Irian Barat untuk merebut wilayah itu dari tangan Belanda.
Akhirnya dilakukan beberapa gelombang Operasi Militer di Papua Barat
dengan satuan militer yang diturunkan untuk operasi lewat udara dalam fase
infiltrasi seperti Operasi Banten Kedaton, Operasi Garuda, Operasi Serigala,
Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi Lumbung, Operasi
Jatayu. Operasi lewat laut adalah Operasi Show of Rorce, Operasi Cakra,
dan Operasi Lumba-lumba. Sedangkan pada fase eksploitasi dilakukan Operasi
Jayawijaya dan Operasi Khusus (Opsus).[13]
Melalui operasi ini wilayah Papua Barat diduduki, dan dicurigai banyak orang
Papua yang telah dibantai pada waktu itu.
Mengapa Soekarno sangat “keras kepala” dalam merebut wilayah Papua Barat
untuk memasukannya ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia?
Soekarno mempunyai empat alasan utama dalam pencaplokan Papua Barat ke wilayah
Indonesia. Keempat alasan itu adalah klaim yang dipegang oleh Indonesia sebagai
tindakan pembenaran kekuasaan atas wilayah Papua Barat. Keempat klaim itu
adalah:[14]
- Papua Barat dianggap sebagai bagian dari kerajaan Majapahit.
- Kepulauan Raja Ampat di daerah kepala burung, Papua Barat, oleh sultan Tidore dan Soekarno diklaim sebagai bagian dari Kesultanan Tidore. Kesultanan Tidore diklaim oleh Soekarno sebagai bagian dari daerah “Indonesia Bagian Timur”.
- Papua Barat diklaim sebagai bagian dari negara bekas Hindia Belanda.
- Soekarno yang anti barat ingin menghalau pengaruh imperialisme barat di Asia Tenggara. Di samping itu, Soekarno memiliki ambisi hegemoni untuk mengembalikan kejayaan kerajaan Majapahit (ingat: “Ganyang Malaysia”), termasuk Papua Barat yang ketika itu masih dijajah oleh Belanda. Mungkin juga Soekarno memiliki perasaan curiga, bahwa pemerintah Nederlands Nieuw Guinea di Papua Barat akan merupakan benteng Belanda untuk sewaktu-waktu dapat menghancurkan Negara Indonesia. Hal ini dihubungkan dengan aksi militer Belanda yang kedua (tweede politionele aktie) pada 19-12-1948 untuk menghancurkan negara RI.
Apakah keempat klaim – sebagai alasan mengusai Papua Barat – ini benar?
Mari kita buktikan.
- Klaim atas Kekuasaan Majapahit
Kerajaan
Majapahit (1293-1520) lahir di Jawa Timur dan memperoleh kejayaannya di bawah
raja Hayam Wuruk Rajasanagara (1350-1389). Ensiklopedi-ensiklopedi di negeri
Belanda memuat ringkasan sejarah Majapahit, bahwa “batas kerajaan Majapahit
pada jaman Gajah Mada mencakup sebagian besar daerah Indonesia”. Sejarawan
Indonesia mengklaim bahwa batas wilayah Majapahit terbentang dari Madagaskar
hingga ke pulau Pas (Chili).
Hingga
saat ini belum ditemukan bukti-bukti sejarah berupa ceritera tertulis maupun
lisan atau benda-benda sejarah lainnya yang dapat digunakan sebagai bahan-bahan
ilmiah untuk membuat suatu analisa dengan definisi yang tepat bahwa Papua Barat
pernah merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit. Mengklaim Papua Barat sebagai
bagian dari kerajaan Majapahit tentunya sangat meragukan, karena Soekarno tidak
memenuhi prinsip-prinsip membuat analisa dan definisi sejarah yang tepat,
khususnya sejarah tertulis.
Berkaitan
dengan kekuasaan wilayah kerajaan Majapahit di Indonesia, secara jelas
dijelaskan panjang lebar oleh Prof. Dr. Slamet Muljana, bahwa kekuasaan
kerajaan Majapahit, dalam Nagarakretagama pupuh 13 dan 14 disebutkan
bahwa kerajaan Majapahit mempunyai wilayah yang luas sekali, baik di kepulauan
Nusantara maupun di semenanjung Melayu. Pulau-pulau di sebelah timur pulau Jawa
yang paling jauh tersebut dalam pupuh 14/15 ialah deretan pulau Ambon
dan Maluku, Seram dan Timor; semenajung Melayu disebut nama-nama Langkasuka,
Kelantan, Tringgano, Paka, Muara Dingin, Tumasik, Klang, Kedah, Jerai.
Demikianlah, wilayah kerajaan Majapahit pada zaman Hayam Wuruk menurut Nagarakretagama
meluputi wilayah yang lebih luas dari pada Negara Republik Indonesia sekarang.
Hanya Irian yang tidak tersebut sebagai batas yang terjauh di sebelah timur.
Boleh dikatakan bahwa batas sebelah timur kerajaan Majapahit ialah kepulauan Maluku.[15]
Ini berarti Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan kerajaan Majapahit. Karena
itu sudah jelas bahwa Soekarno telah memanipulasikan sejarah.
- Klaim atas Kekuasaan Tidore
Di
dalam suatu pernyataan yang di lakukan antara sultan Tidore dengan VOC pada
tahun 1660, secara sepihak sultan Tidore mengklaim bahwa kepulauan Papua atau
pulau-pulau yang termasuk di dalamnya merupakan daerah kesultanan Tidore.
Soekarno
mengklaim bahwa kesultanan Tidore merupakan “Indonesia Bagian Timur”, maka
Papua Barat merupakan bagian daripadanya. Di samping itu, Soekarno mengklaim
bahwa raja-raja di kepulauan Raja Ampat di daerah kepala burung, Papua Barat,
pernah mengadakan hubungan dengan sultan Tidore.
Apakah
kedua klaim dari sultan Tidore dan Soekarno dapat dibuktikan secara ilmiah?
Gubernur kepulauan Banda, Keyts melaporkan pada tahun 1678 bahwa dia tidak
menemukan bukti adanya kekuasaan Tidore di Papua Barat. Pada tahun 1679 Keyts
menulis lagi bahwa sultan Tidore tidak perlu dihiraukan di dalam hal Papua Barat.
Menurut
laporan dari kapten Thomas Forrest (1775) dan dari Gubernur Ternate (1778)
terbukti bahwa kekuasaan sultan Tidore di Papua Barat betul-betul tidak
kelihatan.
Pada
tanggal 27 Oktober 1814 dibuat sebuah kontrak antara sultan Ternate dan Tidore
yang disaksikan oleh residen Inggris, bahwa seluruh kepulauan Papua Barat dan
distrik-distrik Mansary, Karandefur, Ambarpura dan Umbarpon pada pesisir Papua
Barat (daerah sekitar Kepala Burung) akan dipertimbangkan kemudian sebagai
milik sah sultan Tidore.
Kontrak
ini dibuat di luar ketahuan dan keinginan rakyat Papua Barat. Berbagai penulis
melaporkan, bahwa yang diklaim oleh sultan Tidore dengan nama Papua adalah
pulau Misol. Bukan daratan Papua seluruhnya.
Ketika
sultan Tidore mengadakan perjalanan keliling ke Papua Barat pada bulan Maret
1949, rakyat Papua Barat tidak menunjukkan keinginan mereka untuk menjadi bagian
dari kesultanan Tidore. Adanya raja-raja di Papua Barat bagian barat, sama
sekali tidak dapat dibuktikan dengan teori yang benar. Lahirnya sebutan ‘Raja Ampat’
berasal dari mitos. Raja Ampat berasal dari telur burung Maleo (ayam hutan).
Dari telur-telur itu lahirlah anak-anak manusia yang kemudian menjadi raja.
Mitos
ini memberikan bukti, bahwa tidak pernah terdapat raja-raja di kepulauan Raja
Ampat menurut kenyataan yang sebenarnya. Rakyat Papua Barat pernah mengenal
seorang pemimpin armada laut asal Biak: Kurabesi, yang menurut F.C. Kamma,
pernah mengadakan penjelajahan sampai ke ujung barat Papua Barat. Kurabesi
kemudian kawin dengan putri sultan Tidore. Adanya armada Kurabesi dapat memberikan
kesangsian terhadap kehadiran kekuasaan asing di Papua Barat.
Pada tahun 1848 dilakukan suatu kontrak
rahasia antara Pemerintah Hindia Belanda (Indonesia jaman Belanda) dengan
Sultan Tidore di mana pesisir barat-laut dan barat-daya Papua Barat merupakan daerah
teritorial kesultanan Tidore. Hal ini dilakukan dengan harapan untuk mencegah
digunakannya Papua Barat sebagai papan-loncat penetrasi Inggris ke kepulauan
Maluku. Di dalam hal ini Tidore sesungguhnya hanya merupakan vassal
proportion (hubungan antara seorang yang menduduki tanah dengan janji
memberikan pelayanan militer kepada tuan tanah) terhadap kedaulatan kekuasaan
Belanda,
tulis C.S.I.J. Lagerberg. Sultan Tidore diberikan mandat oleh Pemerintah Hindia
Belanda tahun 1861 untuk mengurus perjalanan hongi (hongi-tochten, di dalam
bahasa Belanda). Ketika itu banyak pelaut asal Biak yang berhongi (berlayar)
sampai ke Tidore. Menurut C.S.I.J. Lagerberg hongi asal Biak merupakan
pembajakan laut, tapi menurut bekas-bekas pelaut Biak, hongi ketika itu
merupakan usaha menghalau penjelajah asing. Pengejaran terhadap penjelajah
asing itu dilakukan hingga ke Tidore. Untuk menghadapi para penghalau dari Biak,
sultan Tidore diberi mandat oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Jadi,
justru yang terjadi ketika itu bukan suatu kekuasaan pemerintahan atas
teritorial Papua Barat. Setelah pada tahun 1880-an Jerman dan Inggris secara
nyata menjajah Papua New Guinea, maka Belanda juga secara nyata memulai
penjajahannya di Papua Barat pada tahun 1898 dengan membentuk dua bagian
tertentu di dalam pemerintahan otonomi (zelfbestuursgebied) Tidore,
yaitu bagian utara dengan ibukota Manokwari dan bagian selatan dengan ibukota
Fakfak. Jadi, ketika itu daerah pemerintahan Manokwari dan Fakfak berada di
bawah keresidenan Tidore.
Mengenai
manipulasi sejarah berdasarkan kekuasaan Tidore atas wilayah Papua Barat ini,
Dr. George Junus Aditjondro menyatakan bahwa:
Kita mempertahankan Papua Barat karena Papua Barat
adalah bagian dari Hindia Belanda. Itu atas dasar apa? Hanya karena kesultanan
Tidore mengklaim bahwa dia menjajah Papua Barat sampai teluk Yotefa mungkin?
Maka kemudian, ketika Tidore ditaklukan oleh Belanda, Belanda belum merasa
otomatis mendapatkan hak atas penjajahan Tidore? Belanda mundur, Indonesia
punya hak atas semua eks-jajahan Tidore? Itu kan suatu mitos. Sejak
kapan berbagai daerah di Papua barat takluk kepada Tidore?... Saya kira tidak.
Yang ada adalah hubungan vertikal antara Tidore dan Papua Barat, tidak ada
kekuasaan Tidore untuk menaklukan Papua Barat. Atas dasar itu, klaim bahwa
Indonesia berhak atas seluruh Hindia Belanda dulu, merupakan imajinasi.”[16]
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Soekarno telah terbukti memanipulasikan
sejarah untuk mencaplok Papua Barat. Karena wilayah Papua Barat tidak masuk
dalam kekuasaan Tidore.
- Klaim atas kekuasaan Hindia Belanda
Secara
historis penjajahan, Papua Barat sesungguhnya bukan bagian dari Wilayah
Republik Indonesia, karena Papua Barat bukan bagian dari Hindia Belanda. Pada
tanggal 24 agustus 1828 di Lobo, Teluk Triton Kaimana (pantai selatan Papua
Barat) diproklamasikan penguasaan Papua Barat oleh Sri Baginda Raja Nederland.
Sedangkan di Bogor, 19 Februari 1936 dalam Lembaran Negara Hindia Belanda
disepakati tentang pembagian daerah teritorial Hindia Belanda, yaitu sabang
sampai Amboina tidak termasuk Papua Barat (Nederland Neiw Guinea).[17]
Juga
perlu diingat bahwa walaupun Papua Barat dan Indonesia sama-sama merupakan
jajahan Belanda, namun administrasi pemerintahan Papua Barat diurus secara
terpisah.[18] Indonesia
dijajah oleh Belanda yang kekuasaan kolonialnya dikendalikan dari Batavia
(sekarang Jakarta), kekuasaan Batavia inilah yang telah menjalankan penjajahan
Belanda atas Indonesia, yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina (Hindia
Belanda). Kekuasaan Belanda di Papua Barat dikendalikan dari Hollandia
(sekarang Port Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat
sampai Merauke (Nederland Nieuw Guinea).[19]
Selain
itu saat tertanam dan tercabutnya kaki penjajahan Belanda di Papua
Barat tidak
bertepatan waktu dengan yang terjadi di Indonesia. Kurun waktunya berbeda, di mana Indonesia
dijajah selama tiga setengah abad sedangkan Papua Barat hanya 64 tahun (1898-1962).
Tanggal 24 Agustus 1828, ratu Belanda mengeluarkan pernyataan unilateral bahwa
Papua Barat merupakan daerah kekuasaan Belanda. Secara politik praktis, Belanda
memulai penjajahannya pada tahun 1898 dengan menanamkan pos pemerintahan
pertama di Manokwari (untuk daerah barat Papua Barat) dan di Fakfak (untuk
daerah selatan Papua Barat. Tahun 1902, pos pemerintahan lainnya dibuka di
Merauke di mana daerah tersebut terlepas dari lingkungan teritorial Fakfak. Tanggal
1 Oktober 1962 Belanda menyerahkan Papua Barat ke dalam PBB.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Soekarno telah terbukti memanipulasikan
sejarah untuk mencaplok Papua Barat. Karena wilayah Papua Barat tidak masuk
dalam kekuasaan Hindia Belanda.
- Menghalau Pengaruh Imperialisme Barat di Asia Tenggara.
Soekarno
mengancam akan memohon dukungan dari pemerintah bekas Uni Sovyet untuk
menganeksasi Papua Barat jika pemerintah Belanda tidak bersedia menyerahkan
Papua Barat ke tangan Republik Indonesia. Pemerintah Amerika Serikat (AS) pada
waktu itu sangat takut akan jatuhnya negara Indonesia ke dalam Blok komunis. Soekarno
dikenal oleh dunia barat sebagai seorang Presiden yang sangat anti imperialisme
barat dan pro Blok Timur. Pemerintah Amerika Serikat ingin mencegah kemungkinan
terjadinya perang fisik antara Belanda dan Indonesia.
Maka
Amerika Serikat memaksa pemerintah Belanda untuk menyerahkan Papua Barat ke
tangan Republik Indonesia. Di samping menekan pemerintah Belanda, pemerintah AS
berusaha mendekati presiden Soekarno. Soekarno diundang untuk berkunjung ke Washington
(Amerika Serikat) pada tahun 1961. Tahun 1962 utusan pribadi Presiden John
Kennedy yaitu Jaksa Agung Robert Kennedy mengadakan kunjungan balasan ke
Indonesia untuk membuktikan keinginan Amerika Serikat tentang dukungan kepada Soekarno
di dalam usaha menganeksasi Papua Barat.
Untuk
mengelabui mata dunia, maka proses pengambil-alihan kekuasaan di Papua Barat
dilakukan melalui jalur hukum internasional secara sah dengan dimasukkannya
masalah Papua Barat ke dalam agenda Majelis Umum PBB pada tahun 1962. Dari
dalam Majelis Umum PBB dibuatlah Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang
mengandung “Act of Free Choice” (Pernyataan Bebas Memilih). Act of
Free Choice kemudian diterjemahkan oleh pemerintah Republik Indonesia
sebagai PEPERA (Pernyataan Pendapat Rakyat) yang dilaksanakan pada tahun 1969.
5.
Proses Ilegal Pentuan Pendapat Rakyat
(PEPERA) 1969
Penandatanganan New York Agreement (Perjanjian New York)[20]
antara Indonesia dan Belanda yang disaksikan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa Bangsa, U Thant dan Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Ellsworht
Bunker pada tanggal 15 Agustus 1962. Beberapa hal pokok dalam perjanjian serta
penyimpangannya (kejanggalan) adalah sebagai berikut:[21]
1. New
York Agreement (Perjanjin New York) adalah suatu kesepakatan yang tidak
sah, baik secara yuridis maupun moral. Perjanjanjian New York itu membicarakan
status tanah dan nasib bangsa Papua Barat, namun di dalam prosesnya tidak
pernah melibatkan wakil-wakil resmi bangsa Papua Barat.
2. Sejak
1 Mei 1963, bertepatan dengan Unites Nations Temporrary Executive
Administratins (UNTEA) atau Pemerintahan Sementara PBB di Papua Barat
menyerakan kekuasaanya kepada Indonesia, selanjutnya pemerintah Indonesia mulai
menempatkan pasukan militernya dalam jumlah besar di seluruh tanah Papua,
akibatnya hak-hak politik dan hak asasi manusia dilanggar secara brutal di luar
batas-batas kemanusiaan.
3. Pasal
XVIII ayat (d) New York Agreement mengatur bahwa “The eligibility of
all adults, male and female, not foreign nationals to participate in the act of
self determination to be carried out in accordance whit international
practice…”. Aturan ini berarti penentuan nasib sendiri harus dilakukan oleh
setiap orang dewasa Papua pria dan wanita yang merupakan penduduk Papua pada
saat penandatanganan New York Agreement. Namun hal ini tidak
dilaksanakan. Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 dilaksanakan dengan cara lokal Indonesia, yaitu musyawarah
oleh 1025 orang dari total 600.000 orang dewasa laki-laki dan perempuan.
Sedangkan dari 1025 orang yang dipilih untuk memilih, hanya 175 orang saja yang
menyampaikan atau membaca teks yang telah disiapkan oleh pemerintah Indonesia.
Selain itu masyarakat Papua Barat yang ada di luar negeri, yang pada saat penandatangan
New York Agreement tidak diberi kesempatan untuk terlibat dalam
penentuan nasib sendiri itu.
4. Teror,
intimidasi dan pembunuhan dilakukan oleh militer sebelum dan sesaat PEPERA 1969
untuk memenangkan PEPERA 1969 secara sepihak oleh pemerintah dan militer
Indonesia. Buktinya adalah Surat Rahasia Komandan Korem 172, Kolonel Blego
Soemarto, No.: r-24/1969, yang ditujukan kepada Bupati Merauke selaku anggota
Muspida kabupaten Merauke, isi surat tersebut:
“Apabila pada masa poling tersebut diperlukan adanya
penggantian anggota Demus (dewan musyawarah), penggantiannya dilakukan jauh
sebelum MUSAYAWARAH PEPERA. Apabila alasan-alasan secara wajar untuk
penggantian itu tidak diperoleh, sedang dilain pihak dianggap mutlak bahwa
anggota itu perlu diganti karena akan membahayakan kemenangan PEPERA, harus
berani mengambil cara yang ‘tidak wajar’ untuk menyingkirkan anggota yang
bersangkutan dari persidangan PEPERA sebelum dimulainya sidang DEMUS PEPERA.
…Sebagai kesimpulan dari surat saya ini adalah bahwa PEPERA secara mutlak harus
kita menangkan, baik secara wajar atau secara ‘tidak’ wajar.”[22]
Mengingat
bahwa wilayah kerja komandan Korem 172 termasuk pula kabupaten-kabupaten lain
di luar kabupaten Merauke, maka patut diduga keras surat rahasia yang isinya
kurang lebih sama juga dikirimkan ke bupati-bupati yang lain.
Pada
tahun 1967 Freeport-McMoRan (sebuah perusahaan Amerika Serikat) menandatangani
Kontrak Kerja dengan pemerintah Indonesia untuk membuka pertambangan tembaga
dan emas di Pegunungan Bintang, Papua Barat. Freeport memulai operasinya pada
tahun 1971. Kontrak Kerja kedua ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991.
Kepentingan Amerika Serikat di Papua Barat, yang ditandai dengan adanya
penandatanganan Kontrak Kerja antara Freeport dengan pemerintah Republik Indonesia,
menjadi realitas. Ini terjadi dua tahun sebelum PEPERA 1969 dilaksanakan di
Papua Barat. Di sini terjadi kejanggalan yuridis, karena Papua Barat dari tahun
1962 hingga 1969 dapat dikategorikan sebagai daerah sengketa.
Penentuan
Pendapat Rakyat tahun 1969 tidak sah karena dilaksanakan dengan sistem
“musyawarah” (sistem local Indonesia) yang bertentangan dengan isi dan jiwa New
York Agreement, di samping itu PEPERA 1969 dimenangkan oleh Indonesia lewat
terror, intimidasi, penangkapan, dan pembunuhan (pelanggaran hukum, HAM dan
esensi demokrasi). Kemenangan PEPERA secara cacat hukum dan moral ini akhirnya
disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa lewat Resolusi Nomor 2509 dan
diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 7 tahun 1971.
Berikut
ini adalah jadwal pelaksanaan PEPERA, Jumlah wakil/utusan berdasarkan unsur,
dan jumlah wakil/utusan yang memberikan pendapat.
Jadwal Pelaksanaan Pepera
Tanggal
|
Kabupaten
|
Anggota
DEMUS[23]
|
Penduduk
|
14 Juli 1969
|
Merauke
|
175
|
144.171
|
16 Juli 1969
|
Jayawijaya
|
175
|
165.000
|
19 Juli 1969
|
Paniai
|
175
|
156.000
|
23 Juli 1969
|
Fakfak
|
75
|
43.187
|
26 Juli 1969
|
Sorong
|
110
|
75.474
|
29 Juli 1969
|
Manokwari
|
75
|
89.875
|
31 Juli 1969
|
Teluk
Cenderawasih
|
130
|
83.000
|
02 Agustus 1969
|
Jayapura
|
110
|
81.246
|
J u m l a h
|
1.025
|
809.337
|
Jumlah Wakil/Utusan Berdasarkan Unsur
No
|
Unsur
|
Jumlah Wakil/Utusan
|
1
|
Kepala
Suku/Adat
|
400 orang
|
2
|
Daerah
(Gereja/Alim Ulama)
|
360 orang
|
3
|
Orpol/Ormas
|
265 orang
|
J u m l a h
|
1.025 orang
|
Jumlah Wakil/Utusan yang Memberikan
Pendapat
No
|
Kabupaten
|
Memberikan Pendapat
|
Jumlah Utusan
|
Sakit
|
1
|
Merauke
|
20
|
175
|
1
|
2
|
Jayawijaya
|
18
|
175
|
1
|
3
|
Paniai
|
28
|
175
|
-
|
4
|
Fakfak
|
17
|
75
|
-
|
5
|
Sorong
|
16
|
110
|
-
|
6
|
Manokwari
|
26
|
75
|
-
|
7
|
Teluk
Cenderawasih
|
24
|
130
|
1
|
8
|
Jayapura
|
26
|
110
|
1
|
J u m l a h
|
175
|
1.025
|
4
|
6.
Papua Barat dalam Kekuasaan Indonesia (Era
Negara Orde Baru-NOB)
Banyak peristiwa politik dalam memperjuangan kemerdekaan Papua Barat yang
dilakukan oleh rakyat Papua Barat terutama oleh OPM pasca Penentuan Pendapat
Rakyat 1969, tetapi secara umum di sini hanya akan dikemukakan empat peristiwa
penting dalam upaya untuk memerdekakan Papua Barat dari kekuasaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
a. Proklamasi 1 Juli 1971
Setelah
wilayah Papua Barat dimasukan secara sepihak lewat manipulasi Penentuan
Pendapat Rakyat oleh Indonesia pada tahun 1969, wilayah ini diduduki layaknya
sebuah wilayah jajahan. Indonesia mulai memperketat wilayah ini untuk mematikan
gerakan kemerdekaan Papua Barat yang dilancarkan oleh Organisasi Papua Merdeka
(OPM)[24]
lewat perjuangan diplomasi dan gerilya.
Pada
tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat
perbatasan Papua New Guinea, yang dijuluki (Markas) Victoria, yang kemudian
dijuluki dalam kosakata rakyat Papua Barat sebagai “Mavik" “dilaksanakan
Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat. Proklamasi ini dicetuskan oleh Seth Jafet
Rumkorem[25] sebagai
Presiden Papua Barat, dan didampingi oleh Jakob Prai[26]
sebagai Ketua Senat (Dewan Perwakilan Rakyat), Dorinus Maury sebagai Menteri
Kesehatan, Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway sebagai Kepala Staf Tentara
Pembebasan Nasional (TEPENAL[27]),
dan Louis Wajoi sebagai Komandan (Panglima) TEPENAL Republik Papua Barat.
Isi
teks Proklamasi 1 Juli 1971 adalah:
PROKLAMASI
Kepada seluruh rakyat Papua, dari Numbai sampai ke
Merauke, dari Sorong sampai ke Balim (Pegunungan Bintang) dan dari Biak sampai
ke Pulau Adi.
Dengan pertolongan dan berkat Tuhan, kami memanfaatkan
kesempatan ini untuk mengumumkan pada anda sekalian bahwa pada hari ini, 1 Juli
1971, tanah dan rakyat Papua telah diproklamasikan menjadi bebas dan merdeka (de
facto dan de jure).
Semoga Tuhan beserta kita, dan semoga dunia menjadi
maklum, bahwa merupakan kehendak yang sejati dari rakyat Papua untuk bebas dan
merdeka di tanah air mereka sendiri dengan ini telah dipenuhi.
Victoria, 1 Juli 1971
Atas nama rakyat dan pemerintah Papua Barat,
Seth Jafet Rumkorem
(Brigadir-Jenderal)
(Brigadir-Jenderal)
b. Imajinasi Negara Melanesia Barat
Tiga
tahun sesudah proklamasi di “Markas Victoria”, imajinasi itu melebar sampai
meliputi wilayah negara tetangga mereka, Papua New Guinea. Pada tanggal 3
Desember 1974, enam orang pegawai negeri di kota Serui, ibukota Kabupaten
Yapen-Waropen, menandatangani apa yang mereka sebut “Pernyataan Rakyat
Yapen-Waropen”, yang isinya menghendaki persatuan bangsa Papua dari Samarai (di
ujung buntut daratan Papua New Guinea) sampai ke Sorong, yang “100% merdeka di
luar Republik Indonesia”.
Sejak
Februari 1975, lima di antara penandatangan petisi ditahan di Jayapura.
Soalnya, salah seorang di antara penandatangan “proklamasi Sorong-Samarai” itu,
Y. Ch. Merino, orang Biak yang sebelumnya adalah Kepala Kantor Bendahara Negara
di Serui, pada tanggal 14 Februari 1975 kedapatan “bunuh diri” di Serui.
Kabarnya dalam penggeledahan di rumahnya ditemukan uang kas negara sebanyak Rp
13 juta. Sesudah dua tahun ditahan di Jayapura, lima orang temannya yang masih
hidup, diajukan ke pengadilan negeri Jayapura. Pada tanggal 9 Maret 1977,
kelimanya divonis delapan tahun penjara, karena tuduhan melakukan “maker”.[28]
c. Gelombang Pengungsian dan Pembunuhan Arnold Clemens Ap
Pada
tanggal 26 April 1984, pemerintah Indonesia melakukan “sesuatu” yang justru
semakin menumbuhkan kesadaran nasional Papua di Irian Jaya, yakni menciptakan
seorang martir yang kenangannya (untuk sementara waktu) mempersatukan berbagai
kelompok OPM yang saling bertikai. Pada tanggal itulah seorang tokoh budayawan
terkemuka asal Papua Barat, Arnold Clemens Ap, ditembak oleh Koppasanda
(sekarang Kopassus) di pantai Pasir Enam, sebelah timur kota Jayapura, pada
saat Arnold Ap sedang menunggu perahu bermotor yang konon akan mengungsikannya
ke Vanimo, Papua New Guinea, ke mana isteri, anak-anak, dan sejumlah teman
Arnold Ap telah mengungsi terlebih dahulu tanggal 7 Februari 1984.[29]
Pembunuhan
ini berawal dari sebuah “tawaran” kepada Arnold dkk untuk melarikan diri dari
tahanan Polda guna menyusul keluarga dan kawan-kawan mereka di Vanimo,
tampaknya sangat menggiurkan. Celakanya, tawaran itu tampaknya hanyalah suatu
jebakan, yang berakhir dengan meninggalnya sang budayawan di RS Aryoko,
Jayapura, tanggal 26 April 1984. Sebelum “ditawar” untuk melarikan diri, pada
tanggal 30 November 1983, Arnold ditahan oleh satuan Kopassanda yang berbasis
di Jayapura. Sebelum dan sesudahnya, sekitar 20 orang Papua lain, yang umumnya
bergerak di lingkungan Uncen maupun Kantor Gubernur Irian Jaya, juga ditahan
untuk diselidiki aspirasi politik dan kaitan mereka dengan gerilya OPM di hutan
dan di luar negeri.
Arnol
dibunuh karena ia juga dicurigai menjadi penghubung antara aktivis OPM di hutan
dengan yang ada di kota, yang memungkinkan para peneliti asing bertemu dengan
Jantje Hembring, tokoh OPM di hutan Kecamatan Nimboran, Jayapura, dan juga
membiayai pelarian seorang dosen Uncen, Fred Hatabu, SH, bersama bekas presiden
Republik Papua Barat, Seth Jafet Rumkorem ke PNG, dari hasil penjualan
kaset-kaset Mambesak. Selain itu, Indonesia merasa sangat khawatir dengan Group
Musik Manbesak yang dicurigai membangkitkan semangat nasionalisme Papua Barat
untuk merdeka lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.[30]
Akibat
kemelut politik, terutama karena pembunuhan Arnol C. Ap maka terjadi gelombang
pengungsian secara besar-besaran ke Papua New Guinea. Sebanyak 11.000 orang Papua
dari Papua Barat ditampung di kamp-kamp pengungsi Wabo dan Yako yang lebih
dikenal dengan nama Black Water dan Black Wara, dimana para pengungsi tersebut
diurus oleh perwakilan UNHCR (United Nations High Commision for Refugees)
di Vanimo.[31]
d. Proklamasi
Melanesia Barat
Pada
tanggal 14 Desember 1988, Dr. Thomas Wapai Wanggai memproklamasikan Negara
Melanesia Barat. Ia mengusung nama Negara Melanesia Barat untuk melepaskan
Papua Barat dari kekuasaan Indonesia. Dia Mendeklarasikan Kemerdekaan Melanesia
Barat dengan menaikan Bendera Bintang Empat Belas (B-14) di Lapangan Mandala
Port Numbay tahun 1988. Akibatnya dia dipenjarakan di LP Cipinang Jakarta,
tetapi dia meninggal dunia tahun 1996 karena sakit ketika menjalani hukumannya.[32]
Kematiannya dicurigai karena diracuni. Akhirnya banyak pengikutnya yang hingga
kini melarikan diri ke luar negeri.
Ide
Thomas Wapai Wanggai mengenai Negara Melanesia Barat ini tidak jelas mengenai
batas wilayah “Melanesia Barat” itu. Apakah Melanesia Barat juga meliputi
Maluku, Timor Timur, dan Nusa Tenggara Timur, yang penduduknya serumpun
Melanesia? Ataukah penggunaan istilah itu hanyalah suatu taktik politik, suatu appeal
ke arah isu Solidaritas Melanesia yang populer di beberapa negara Pasifik
Selatan. Yang jelas, proklamasi Tom Wanggai punya appeal yang besar
terhadap sebagian penduduk kota Jayapura dan kota-kota satelit-satelitnya.[33]
Selain empat
peristiwa politik yang telah disebutkan di atas, masih ada juga aksi-aksi
perjuangan rutin baik secara diplomatik maupun gerilya yang dilakukan oleh
rakyat Papua Barat. Secara diplomatik misalnya terjadi lobi dan pembukaan
kantor-kantor perwakilan OPM di berbagai negara, seperti di Swedia (1972),
Senegal (1976), dan kampanye yang dilakukan di Belanda, Yunani, Jepang, PNG dan
negara lainnya. Sementara secara gerilya misalnya terjadi
penyerangan-penyerangan terhadap Pos Militer (TNI/POLRI) oleh TPN-OPM, terjadi
penyanderaan, dan lainnya sepanjang kekuasaan Negara Indonesia era Orde Baru di
Papua Barat.
Sebagai
balasannya Indonesia melalui kekuatan militer lewat penerapan kebijakan Daerah
Operasi Militer (DOM) melakukan teror, intimidari, pengejaran, pemenjarahan,
pemerkosaan, pembunuhan, pembakaran fasilitas umum dan kampung, dan aksi
kejahatan militer yang lainnya. Selain itu dilakukan Operasi Koteka pada tahun
1970-an, yang mana rakyat dipaksa untuk mengenakan pakaian ala orang
Indonesia yang terbuat dari kain.
Akibat Operasi
Militer banyak rakyat Papua Barat yang telah menjadi korban. Hal dapat dilihat
dari laporan Amnesty International[34]
yang mengemukakan bahwa telah terjadi 100 ribu rakyat Papua Barat dibantai oleh
militer Indonesia. Selain itu Universitas Yale mengeluarkan laporan resmi bahwa
telah terjadi Genosida di Papua Barat yang dilakukan oleh pemerintah dan militer
Indonesia yang berjudul “Indonesia Human Rights Abuse in West Papua:
Application of the Law of Genocide to the History of Indonesia Control.”
Selain Universitas Yale, John Wing dan Peter King dari Center for Peace and
Conflict Studies di Universitas Sydney Australia juga telah menerbitkan
sebuah laporan sebagai hasil riset tentang Genosida di Papua Barat yang
berjudul “Genocide in West Papua? The Role of Indonesian State Apparatus and
a Current Needs Assessment of the Papua People”.[35]
Data Korban pelanggaran HAM[36]
No
|
Waktu/Tempat
|
Jenis Pelangaran HAM
|
Jumlah
|
1
|
1968-1998:
Kabupaten
Paniai
|
Meninggal
Hilang
Diperkosa
|
614
orang
13 orang
94 orang
|
2
|
1969-1972
dan 1998:
Kabupaten
Biak
|
Meninggal
Hilang
Dianiaya
Ditahan
|
102
orang
3 orang
37 orang
150
orang
|
3
|
1977:
Jayawijaya (Perang 77):
1. Kec. Kelila
2. Kec. Asologaima
3. Kec. Wosi
|
Meninggal
(tewas)
Meninggal
(tewas)
Meninggal
(tewas)
|
201
orang
126
orang
148
orang
|
4
|
1996-1998:
Jayawijaya
|
Meninggal
Hilang
Diperkosa
Dianiaya
Dibakar
(materi):
-
Gereja
-
Kampung
-
Rumah
|
137
orang
2 orang
10 orang
3 orang
13 buah
13 buah
195
buah
|
5
|
1965-1999:
Kabupaten
Sorong
|
Meninggal
Hilang
Diperkosa
|
68 orang
5 orang
7 orang
|
Sumber: Elsham Papua Barat, April 2000
7.
Kebangkitan Nasional Papua Barat (Era
Reformasi Indonesia)
Bersamaan dengan tumbangnya “raja”[37]
Soeharto dari kursi kekuasaanya, lahirnya masa Reformasi di Indonesia. hal itu
terjadi sejak tahun 1998, dan sekarang ini juga kita berada dalam masa
Reformasi Indonesia. Lahirnya Reformasi memberikan “angin segar” bagi rakyat
Papua Barat untuk memperjuangan kemerdekaan negaranya secara terbuka. Berikut
ini beberapa peristiwa politik (perjuangan) yang dilakukan oleh rakyat Papua
Barat dalam upaya untuk mendirikan Negara Papua Barat yang merdeka dan
berdaulat, yaitu:[38]
1. Demonstrasi Pelanggaran HAM di Papua Barat
Ada tiga
peristiwa penting demonstrasi Pelanggaran HAM di Papua Barat selama bulan Mei
dan Juni 1998, yaitu tanggal 25 Mei 1998, 5 Juni 1998, dan 11 Juni 1998. Ketiga
demonstrasi tersebut menuntut pertanggungjawaban TNI/POLRI dan Pemerintah
Indonesia atas segala pelanggaran HAM di Papua Barat.
2. Surat Kongres Amerika Serikat dan RFK Memorian
Pada tanggal 22
Mei 1998 (sehari sesudah B.J. Habibie diangkat menjadi Presiden Indonesia)
Indonesia menerima surat dari Kongres Amerika Serikat, dan tanggal 27 Mei 1998
(seminggu setelah B.J. Habibie diangkat menjadi Presiden Indonesia) Indonesia
menerima surat dari Roberth F. Kennedy. Salah satu poin yang menjadi perhatian
dan dorongan bagi rakyat Papua adalah butir keempat dari surat tersebut yang
isinya berbunyi sebagai berikut: “Memprakarsai dialog yang langsung dan
beritikat baik dengan masyarakat Timor Timur dan Irian Jaya menyangkut
perlindungan HAM serta memprakarsai jalan keluar yang adil mengenai status
politik kedua daerah”.
3. Aksi Pengibaran Bendera Papua
Semangat kebangkitan
rakyat Papua Barat menuju Papua Baru yang merdeka dan berdaulat semakin nyata
dari sejumlah aksi-aksi politik yang berkisar pada pengibaran Bendera Bintang
Kejora di seluruh Tanah Papua Barat dan luar Papua Barat. Beberapa aksi
pengibaran Bendera Bintang Kejora dan aksi demonstrasi adalah:
a.
Pengibaran Bendera Papua di Jayapura, tanggal 1 Juli
1998
b.
Pengibaran Bendera Papua di Biak, tanggal 2-6 Juli 1998
c.
Pengibaran Bendera Papua di di Sorong, tanggal 2 -3
Juli 1998
d.
Pengibaran Bendera Papua di Wamena, tanggal 7 Juli 1998
e.
Pengibaran Bendera Papua di Manokwari, tanggal 2
Oktober 1998
f.
Aski pengibaran Bendera Papua juga terjadi di beberapa
kota di Papua seperti Serui, Fak Fak, Timika, Nabire, Puncak Jaya dan Merauke.
g.
Demonstrasi mahasiswa Papua dibawah komando Aliansi
Mahasiswa Papua (AMP) di Jakarta yang diikuti oleh aksi demosntrasi mahasiswa
di Bali dan Sulawesi.
4. Pendirian FORERI
Dengan melihat
perkembangan aspirasi dan perjuangan “Papua Barat Merdeka”, maka tokoh agama,
tokoh adat, tokoh perempuan, tokoh pemuda dan wakil mahasiswa membentuk Forum
Rekonsiliasi Masyarakat Irian Jaya (FORERI) pada tanggal 24 Juli 1998 di Kantor
Elsham Kotaraja Jayapura. Forum ini dibentuk untuk menjembatani semua aspirasi
yang berkembang di masyarakat untuk disampaikan ke Pemerintah Pusat atau
kemungkinan solusi lain dalam penyelesaian masalah Papua Barat, terutama dalam
masalah kemerdekaan Papua Barat, tawaran otonomi oleh pemerintah Indonesia,
masalah pelanggaran HAM, dialog nasional, pembebasan tahanan politik dan
beberapa masalah aktual lainnya. Drs. Willy Mandowen diangkat sebagai
Sekretaris Eksekutif yang dibantu oleh Drs. Martinus Patay dan beberapa
sukarelawan dari mahasiswa dalam menjalankan tugasnya.
5. Tim Pencari Fakta DPR RI
Mengkristalnya tuntutan
kemerdekaan Papua Barat memaksa DPR RI membentuk Tim Pencari Fakta. Pada
tanggal 27 Juli 1998 Tim Pencari Fakta bertemu dengan para pendiri FORERI di
hotel Matoa Jayapura. FORERI menyerahkan laporan pelanggaran HAM di Papua,
kemudian Theys Hiyo Eluay mengusulkan untuk diadakan Dialog Nasional dan Dialog
Internasional mengenai masalah Papua Barat, sementara Dr. Benny Giyai
memaparkan penderitaan rakyat Papua selama 32 tahun dan akar masalah tuntutan
kemerdekaan Papua Barat.
6. Deklarasi 1 Agustus 1999
Dalam usaha
untuk mengakomodir semua gerakan kebangkitan Papua Barat yang semakin marak di
Papua Barat, maka Theys Hiyo Eluway dan Yorrys Th. Raweyai menggelar pertemuan
di Gedung BPD Jayapura. Pertemuan ini diawali dengan dengan doa kemudian
dilanjutkan dengan penyampaian aspirasi oleh semua komponen yang hadir dalam
pertemuan tersebut. Beberapa kesepakatan penting yang diambil dalam pertemuan
ini adalah:
a.
Menyamakan persepsi politik, yakni rakyat ingin “Papua
Merdeka”.
b.
Diusulkan nama Irian Jaya diganti dengan nama Papua.
c.
Perlu dilakukan Dialog Nasional antara rakyat Papua
Barat dengan Presiden B.J. Habibie.
d.
Theys Hiyo Eluay mengundurkan diri dari segala
aktivitas politik dalam NKRI dan menanggalkan segala atribut “Merah Putih” yang
disandangnya sejak 1969 dan menyatakan diri sebagai “Pemimpin Gerakan Papua
Merdeka” ke depan.
7. Tim Seratus (T-100[39])
Dalam pertemuan
Tim Seratus (T-100) dengan Presiden B.J. Habibie yang dilaksanakan di Istana
Negara Jakarta pada tanggal 26 Februari 1999, seratus orang perwakilan rakyat
Papua Barat dengan tegas menyampaikan keinginannya untuk merdeka sebagai negara
berdaulat dari kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal itu dapat
dilihat dari isi pernyataan politik bangsa Papua bahwa:
a.
Kami keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
untuk membentuk negara yang merdeka dan berdaulat penuh dan berdiri sejajajar
dengan bangsa-bangsa lain. Kemerdekaan ini menjamin nilai-nilai kemanusiaan
yang selama ini diinjak-injak oleh bangsa Indonesia disamping pembangunan
ekonomi, sosial dan budaya. Di dalam kemerdekaan itulah dapat dibangun tanah
dan bangsa Papua.
b.
Segera dibentuk pemerintahan peralihan dibawah
pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selambat-lambatnya bulan Maret
1999.
c.
Sebagai tindak lanjut politis adalah segera diadakan
perundingan antara Pemerintah Republik Indonesia, bangsa Papua Barat dan
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
d.
Kami bangsa Papua Barat tidak ikut dalam Pemilihan Umum
1999.
8. Musyawarah Besar Papua 2000
Pada
tanggal 23-26 Februari 2000 dilakukan Musyawarah Besar (Mubes) di Sentani,
Jayapura. Mubes ini dilakukan sebagai sebuah langkah strategis untuk
mempersiapkan Kongres Papua 2000. Mubes ini dilaksanakan untuk menguji
kematangan demokrasi rakyat Papua.
Selain untuk menguji kematangan
demokrasi rakyat Papua, Mubes juga mempersiapkan dan merumuskan agenda-agenda
penting sebagai pilar-pilar (tema-teman) perjuangan Papua Barat. Agenda-agenda
itu antara lain tentang Agenda Pelurusan sejarah, Agenda Politik, dan
Konsolidasi Komponen Perjuangan Papua. Yang paling penting dari Mubes ini
adalah membuat kendaraan politik, yaitu dengan membentuk Dewan Papua yang
terdiri dari Panel dan Presidium Dewan Papua.
9. Kongres Rakyat Papua II (2000)
Kongres
Papua II (2000) dilaksanakan pada tanggal 29 Mei-4 Juni 2000 di Gedung Olahraga
Cenderawasih (GOR) Jayapura, dengan tema kongres: Mari Kita Meluruskan
Sejarah Papua Barat, sedangkan subtema kongres: Rakyat Bangsa Papua
Bertekat Menegakan Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Berdasarkan Prinsip-Prinsip
Kebenaran dan Keadilan Menuju Papua Baru.
Kongres
ini dihadiri oleh 3000 peserta resmi yang diundang, selain itu dihadiri oleh
ribuan rakyat Papua Barat yang tidak diundang. 3000 peserta resmi itu terdiri
dari beberapa kategori, yaitu:
a.
Presidium Dewan Papua 31 orang.
b.
Panel Dewan Papua 400 orang.
c.
Utusan Langsung Masyarakat Papua 1800 orang
d.
Utusan Pemerintah dan DPR/DPRD 150 orang
e.
Pengamat 50 orang
f.
Peninjau Khusus 30 orang
g.
Pers-Jurnalis 100 orang
h.
Undangan Khusus 100 orang.
Kongres
ini telah berhasil melahirkan sebuah Manifesto Hak-hak Dasar Rakyat Papua dalam
empat bidang, yaitu Bidang Ekonomi, Bidang Sosial (Pendidikan, Kesehatan, dan
Kependudukan), Bidang Budaya, dan Bidang Hak-hak Sipil dan Politik. Kemudian
pula melahirkan sebuah Resolusi Kongres Papua 2000[40]
yang menegaskan kepada Indonesia dan bangsa-bangsa di duniai: “mengakui
kemerdekaan Papua 1 Desember 1961, menolak New York Agreement 1962, menolak
hasil PEPERA 1969, mendesak pengakuan kemerdekaan Papua Barat, dan mendesak
penuntasan pelanggaran HAM, mengutuk Indonesia, Belanda, Amerika Serikat dan
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang memanipulasi dan melantarkan nasib bangsa
Papua.”
Selanjutnya
dalam Resolusi Kongres 2000 rakyat Papua memberikan mandat sepenuhnya kepada
Presidium Dewan Papua untuk melaksanakan beberapa hal, seperti: “memperjuangkan
pengakuan kemerdekaan Papua Barat, memperjuangkan pelaksanaan Referendum,
mengadakan usaha dana perjuangan, Panel Kongres harus memberikan dukungan
perjuangan kepada Presidium Dewan Papua, dan mempertanggungjawabkan hasil
perjuangan pada 1 Desember 2000.
Inti
dari Manifesto Hak-hak Dasar Rakyat Papua dan Resolusi Kongres 2000 adalah:
Papua Barat harus keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mendirikan
Negara merdeka dan berdaulat sendiri.”
10. Setelah
Kongres Papua 2000 perjuangan Papua Barat untuk merdeka mulai menampakkan
hasil, namun sejak kematian Theys Hiyo Eluway perjuangan mengalami kemunduran.
Hal itu bertahan hingga sekarang. Namun perlu diketahui bahwa perjuangan
kemerdekaan bangsa Papua kini sedang mengalami kemajuan yang cukup berarti,
terutama atas aksi kaum muda, TPN dan OPM serta beberapa organisasi perjuangan
yang walau susah bersatu namun cukup mendatangkan hasil bagi kemerdekaan Papua
Barat dikemudian hari.
C. Jenis
dan Sikap Mahasiswa Papua
etelah mengetahui memahami
perjalanan panjang aksi penjajahan nation-state lain atas wilayah Papua
Barat dan perjuangan kemerdekaan Papua Barat dalam menghadapi penjajahan itu,
maka mahasiswa dihadapkan kepada tiga pilihan keberpihakan secara umum.
Pertama, memihak kepada penjajah. Kedua, memihak rakyat Papua Barat. Ketiga, tidak
memihak apa-apa dan siapa-siapa (netral/tidak tahu apa-apa).
Untuk mengambil
sikap, pertama-tama harus mengetahui dan mengevaluasi diri
kita masing-masing mengenai “dimana” letak kita sebagai mahasiswa selama ini
dalam perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Setelah itu kita akan menentukan
sikap kita dalam perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Untuk itu, maka berikut
ini dijelaskan jenis-jenis mahasiswa Papua dalam perjuangan kemerdekaan Papua
Barat dan sikap yang harus diambil ke depan.
1. Jenis
Mahasiswa Papua Barat[41]
Secara umum mahasiswa Papua Barat dikategorikan dalam enam jenis
mahasiswa dalam memandang dan menggapai perjuangan kemerdekaan Rakyat Papua
Barat untuk merdeka lepas dari NKRI dan pendukungnya (terutama Negara Dunia
Pertama). Walaupun sama-sama menyandang titel “mahasiswa” dan walupun sama-sama
merasa diri sebagai orang Papua, tetapi mempunyai perbedaan yang cukup tajam
antara satu sama lain. Keenam jenis mahasiswa Papua Barat itu adalah:
a. Jenis Mahasiswa Cari Makan
Jenis mahasiswa
Cari Makan adalah mereka yang hanya memikirkan perut mereka. Mereka ini mempunyai
banyak urusan dengan negara Indonesia untuk mendatangkan keuntungan bagi
mereka, kebanyakan dari mereka adalah anak-anak para pejabat yang mempunyai kedudukan
yang sangat penting di negara Indonesia, atau mempunyai perusahan, LSM dan
lainnya. Kebanyakan dari jenis mahasiswa ini selalu mendukung Otonomi Khusus
Papua, Pemekaran Propinsi/Kabupaten dan lainnya sebagai “lahan” untuk mencari
makan.
b. Jenis Mahasiswa Malas Tahu
Jenis mahasiswa
Malas Tahu adalah jenis mahasiswa yang kalau Papua Barat merdeka mereka terima,
kalau tidak merdeka juga mereka tidak mempermasalahkannya. Kebanyakan mereka
adalah orang yang mau tahu tentang sekarang, bukan besok (masa depan). Kalau
kelompok yang mendukung Otonomi Khusus dan Pemekaran Propinsi/Kabupaten
mempengaruhinya, kereka bisa ikut. Sebaliknya kalau kelompok Papua Merdeka yang
mempengaruhinya mereka mau ikut juga, tetapi tidak sepenuh hati, hanya sekedar
saja.
c. Jenis Mahasiswa Ikut Ramai (Panas-Panas Tahi Ayam)
Jenis mahasiswa
Ikut Ramai adalah mahasiswa yang bersemangat, mereka teriak Merdeka atau
Otonomi Khusus atau Pemekaran. Mereka muncul dengan semangat yang membara,
malah ada yang bersumpah akan mati demi Papua Barat Merdeka. Tetapi kalau ada
Program Otonomi Khusus dan Pemekaran Propinsi/Kabupaten, mereka selalu ajukan
permohonan bantuan dalam bentuk apa saja, atau terlibat dalam urusan pemerintah
NKRI dengan semangat yang membara pula. Kelompok ini muncul dengan sikap
seperti itu karena kurangnya pendidikan politik.
d. Jenis Mahasiswa Menunggu Uluran Tangan
Jenis mahasiswa
Menunggu Uluran Tangan adalah jenis mahasiswa yang selalu menunggu dukungan
dari pihak lain. Mereka selalu memasang telinga untuk mendengar berapa orang
non-Papua yang mendukung kemerdekaan Papua Barat, berapa LSM yang mendukung kemerdekaan
Papua Barat, berapa negara yang mendukung kemerdekaan Papua Barat, dan lainnya.
Jika ada dukungan mereka akan bersemangat dan akan menjadikannya sebagai buah
bibir, tetapi jika tidak ada dukungan dari pihak lain mereka akan selalu diam. Kelompok
ini adalah mahasiswa yang tidak percaya diri dan menggantungkan kemerdekaan
Papua Barat kepada pihak lain di luar diri mereka.
e. Jenis Mahasiswa Nekad (Membabi-buta)
Jenis mahasiswa
Nekad (membabi-buta) adalah mereka yang tidak perduli dengan apapun juga. Yang
mereka mau adalah Papua Barat harus merdeka dengan cara apa saja. Mereka
cenderung membenci orang Jawa, orang Islam, orang barat dan lainnya yang
merugikan hidup mereka atau mengorbankan perjuangan mereka. Perjuangan dengan
jalan membabi-buta dan membenci orang lain sangat sulit untuk mendapatkan
dukungan dari pihak lain, karena kecenderugan mereka bukan untuk Papua Barat
merdeka, tetapi karena membenci orang, golongan dan negara lain yang mengorbankan
kemerdekaan Papua Barat.
f.
Jenis
Mahasiswa Pejuang
Jenis mahasiswa
Pejuang adalah mahasiswa yang telah mengetahui dan memahami “masalah Papua
Barat”. Mereka matang dalam pendidikan politik, peduli dengan penderitaan
rakyat Papua Barat, sadar bahwa mereka dan rakyat mereka sedang dijajah. Mereka
ini selalu memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat kapan saja, dimana saja
dengan jalan yang efektif dan efisian dengan pemahaman dan pengetahuan yang
matang tentang perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Mereka inilah yang secara
nyata terlibat dalam barisan rakyat Papua Barat untuk memperjuangkan
kemerdekaan bangsanya. Mereka mempunyai satu cita-cita dan tujuan bangsa dan
rakyatnya, yaitu “Papua Barat Merdeka”, karena itu mereka sangat sulit untuk
dipengaruhi oleh musuh, sehingga mereka akan selalu dibenci oleh musuh
perjuangan mereka. Inilah mahasiswa Papua Barat yang tulen dalam perjuangan
kemerdekaan Papua Barat.
2. Sikap
Mahasiswa Papua
Sebuah kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa mahasiswa Papua Barat
adalah orang Papua, berkebangsaan Papua, mempunyai ras Negroid dari rumpun
Melanesia dengan ciri fisik berkulit hitam dan berambut keriting. Ini adalah
sebuah kenyataan. Mahasiswa Papua Barat juga adalah orang yang mempunyai
wilayah sebagai tempat tinggalnya dan hidup di wailayah itu. Ini juga
kenyataan.
Walaupun demikian, tidak semua mahasiswa sadar bahwa mereka adalah orang
Papua. Merak tidak sadar bahwa rakyatnya, yaitu orang tua dan sanak-saudarnya
sendiri sedang terjajah, dan lebih gawat adalah mereka sendiri sering
menggadaikan diri sambil menyangkal bahwa mereka bukan orang Papua. Ini sesuatu
yang ironis.
Untuk itu, agar dapat sadar diri sebagai orang Papua, dan memahami
dinamika kehidupan bangsanya dan rakyatnya, maka mahasiswa Papua Barat harus
mempunyai sikap yang tegas dalam menanggapi dinamika kehidupan yang terjadi di
Papua Barat tanpa harus menjadi orang munafik.
Untuk sampai kepada pengambilan sikap secara tegas dan konsisten dalam
perjuangan kemerdekaan Papua Barat, maka beberapa langkah harus dilakukan,
yaitu:
a. Sadar Diri
Pertama-tama
harus duduk dan merenung sebentar dan sadarlah bahwa kita adalah orang Papua.
Sadarlah bahwa kita tidak sama dengan orang lain. Sadarlah bahwa kita mempunyai
pengalaman hidup yang berbeda dalam segala hal. Setelah itu ambillah kesimpulan
bahwa kita mempunyai harga diri, kita mempunyai bangsa, kita berhak menjadi negara
merdeka, dan lainnya yang mengingatkan dan menyadarkan kita bahwa kita
mempunyai harga diri sebagai manusia, yaitu manusia Papua yang mempunyai
kedudukan yang sama dengan manusia dan bangsa lain di dunia ini.
b.
Melihat Kondisi Obyektif
Mahasiswa
sebagai kaum intelektual, tentu tidak akan terlepas dari cara berpikir secara
obyektif, yaitu memandang sebuah masalah secara nyata tanpa memihak apa-apa dan
siapa-siapa. Karena itu lihatlah masalah Papua Barat dari sisi obyektifitasnya,
lihat pula penjajahan Papua Barat oleh nation-state lain secara obyektif
pula. Disana kita bisa menemukan letak kebenaran sebuah persoalan, misalnya
letak kebenaran masalah Papua Barat berkaitan dengan tuntutan kemerdekaannya.
c. Belajar
Selain harus
berpikir dan bertindak secara obyektif, kita juga diharapkan untuk banyak
belajar. Belajar tidak harus di kampus (pendidikan formal), tetapi belajarlah
di luar kampus, belajarlah untuk memahami realita sosial, belajarlah untuk
mendengarkan ratap tangis rakyat Papua Barat, dan belajarlah untuk memetahkan
sebuah persoalan secara benar. Pelajaran yang kita butuhkan di luar kampus
misalnya adalah pendidikan politik, pelatihan jurnalistik, manajemen sumber
daya manusia, latihan kepemimpinan dan lainnya. Di sanalah kita bisa mengambil
banyak ilmu dan pengetahuan untuk bekal perjuangan kita ke depan.
d. Berjuang
Menjadi pejuang
dalam memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat tidak sulit. Cukupkanlah kita
mempunyai kemauan yang sungguh-sungguh bahwa kita mempunyai cita-cita kebenaran
di masa depan, bahwa Papua Barat harus merdeka. Sementara mengenai taktik dan
strategi perjuangan kita bisa menggunakan banyak cara asalkan kita tahu
cara-cara tersebut. Untuk memulai menjadi pejuang kita harus memulai dengan
cara kita masing-masing, sedikit demi sedikit, dan dari diri kita
masing-masing. Sehingga dengan cara masing-masing, sedikit demi sedikit, dan
diri kita sendiri, kita akan menciptakan barisan pejuang yang panjang, banyak
cara yang efektif dan akan membawa kemerdekaan Papua Barat itu ke sebuah alam
yang nyata, yaitu di atas “tanah tumpah darah Papua Barat yang kita cintai.”
D. Penutup
uatu ketika,
pertengahan bulan Juli 2005, disebuah diskusi aktivis kemerdekaan Papua Barat
di Jakarta, waktu itu saya diminta untuk menjadi pembicara. Saya ditanya oleh
seseorang begini: kira-kira Papua bisa merdeka atau tidak? Kalau bisa merdeka,
kira-kira kapan? Saya cukup terkejut mendengar pertanyaan seperti itu. Maklum,
saya bukan seorang peramal yang bisa meramalkan tentang merdeka tidaknya Papua
Barat dan waktu merdekanya Papua Barat. Tetapi saya juga sadar bahwa saya harus
memberikan jawaban kepada orang tersebut.
Sebagai
jawabannya saya menanyakan kembali kepada orang tersebut: kalau orang Papua
berjuang, kira-kira Papua Barat bisa merdeka atau tidak? Kalau perjuangan itu
dilakukan secara baik, benar dan sungguh-sungguh kira-kira Papua Barat bisa
merdeka atau tidak? Dia cukup bingung mendengar pertanyaan saya. Akhirnya, saya
mengatakan bahwa soal Papua Barat merdeka atau tidak itu urusan nanti, persoalan
kapan merdekanya juga urusan nanti, yang menjadi masalah sekarang adalah orang
Papua harus berjuang untuk merdeka, karena jika waktunya tiba, maka kita akan
menikmati hasil perjuangan itu. Bagi saya kemerdekaan Papua Barat hanya soal
waktu, karena waktu tidak pernah berdusta kepada siapapun juga!
Demikian dan
salam “MERDEKA”.
[1]
Alasan ini didasarkan pada Deklarasi Batavia tanggal 1 Maret 1910 yang
menyatakan Nederlandsch Nieuw Guinea (Papua Barat) tidak termasuk Hindia
Belanda, dan diproklamasikan penguasaan Papua Barat oleh Sri Baginda Raja
Nederland tanggal 24 Agustus 1828 di Lobo, Teluk Triton Kaimana (pantai selatan
Papua Barat).
[2]
Yakobus F. Dumupa, Pemekaran Propinsi Irian Jaya: Dari Manipulasi Aspirasi
Sampai Konspirasi Politik (sebuah buku baru yang akan diterbitkan dalam waktu
dekat).
[3]
The Liang Gie, Pertumbumbuhan Pemerintahan Propinsi Irian Jaya, Fakultas Sosial
dan Politik Universitas Gadjahmada, Yogyakarta, 1968. Hal., 10.
[4] Ibid.,
hal., 13.
[5] Agus A.
Alua, Op.Cit., hal. 68.
[6] The
Liang Gie, Op. Cit., hal. 17-18.
[7] Tumbuhnya
paham “Nasionalisme Papua” di Papua Barat mempunyai sejarah yang panjang dan
pahit. Sebelum dan selama perang dunia ke II di Pasifik, nasionalisme secara
khas dinyatakan melalui gerakan Millinerian, Mesianic dan “Cargo-Cultis”.
[8] Pendiri
sekolah ini, yaitu J. P. van Eechoud oleh banyak orang Papua dijuluki sebagai “Vader
der Papoea’s” (Bapak Orang Papua).
[9]
Yorrys Th. Raweyai, Mengapa Papua Ingin Merdeka, Presidium Dewan Papua,
Jayapura, 2002. Hal. 16.
[10] Ibid.,
16
[11]
Kemerdekaan Papua Barat sah secara de facto karena kemerdekaan itu
benar-benar terjadi secara nyata pada tanggal 1 Desember 1961.
[12]
Sementara sah secara de jure karena kemerdekaan Papua Barat 1 Desember
1961 dilegalkan oleh berbagai produk hukum. Secara hukum nasional Indonesia
termuat dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi “bahwa sesungguhnya kemerdekaan
adalah hak segala bangsa oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan ….” . Secara hukum internasional, misalnya Pasal 73 Piagam PBB yang
berbunyi “All people have the right to self determination regardless of
their state of development” dan berbagai konvensi internasional lainnya.
[13]
Tri Komando Rakyat Pembebasan Irian Barat (TRIKORA), Markas Basar Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Jakarta, 2000.
[14]
Ottis Simopiaref, Dasar-dasar Kemerdekaan Papua Barat, sebuah ringkasan dari
buku Karkara (tidak diketahui tahun, tempat dan penerbitnya).
[15]
Prof. Dr. Slamet Muljana, Menuju Puncak Kemegahan Sejarah Kerajaan Majapahit,
LKiS, Yogyakarta, 2005. Hal. 125.
[16]
Dr. George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora: Papua Barat dalam Kajian
Sejarah, Budaya, Ekonomi, dan Hak Asasi Manusia, Elsam, Jakarta, 2000. Hal.
189-190.
[17]
Agus A. Alua, Op. Cit., hal. 67.
[18]
Ibid.: 67.
[19]
Yakobus F. Dumupa, Op. Cit., hal. 22.
[20]
Perjanjian ini diusulkan oleh Amerika Serikat yang dalam teknisnya disiapkan
oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Ellsworht Bunker. Perjanjian ini
mengatur tatacara penyelesaian sengketa status politik di Papua Barat antara
Belanda dan Indonesia lewat tindakan bebas memilih (Act of Free Chice) yang
akan dilaksanakan tahun 1969.
[21] Agus A.
Alua, Op. Cit., hal. 69-73.
[22] Ibid.:
72-73.
[23]
DEMUS artinya Dewan Musyawarah, yaitu kumpulan 1025 orang wakil rakyat Papua
Barat yang ditunjuk dan dipaksa oleh pemerintah dan militer Indonesia untuk
memberikan suara dalam PEPERA 1969.
[24]
OPM lahir di Manokwari, tanggal 26 Juli 1965 dengan pemimpin kharismatisnya
adalah Johan Ariks, yang waktu itu sudah berumur 75 tahun. Sedangkan
tokoh-tokoh pimpinan militernya adalah dua bersaudara Mandatjan, Lodewijk dan
Barends, serta dua bersaudara Awom, Ferry dan Perminas.
[25]
Seth Jafet Rumkorem adalah putra seorang “Pejuang Merah Putih” yang tadinya
menyambut kedatangan pemerintah dan tentara Indonesia dengan tangan terbuka. Ia
meninggalkan pekerjaannya sebagai penata buku di kantor KLM di Biak, dan masuk
TNI/AD yang memungkinkan ia mengikuti latihan kemiliteran di Cimahi, Jawa
Barat, sebelum ditempatkan di Papua Barat dengan pangkat Letnan Satu bidang Intelligence
di bawah pasukan Diponegoro.
[26]
Jakob Prai kini tinggal di Malmo Swedia. Dia menjabat sebagai Kepala Missi
Politik OPM Urusan Luar Negeri (International).
[27]
TEPENAL kini telah berubah nama menjadi TPN. Artinya tetap sama, yaitu Tentara
Pembebasan Nasional, hanya saja sering digandeng dengan huruf “PB” menjadi
TPN-PB artinya Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat.
[28] Dr.
Georga Junus Aditjondro, Op. Cit., hal. 19-20.
[29] Ibid.,
hal. 21.
[30] Yakobus
F. Dumupa, Op. Cit., hal. 277.
[31]
http//:www.geocities.com/opm-irja, Sejarah Organisasi Papua Merdeka, 30 Agustus
2006.
[32]
Intelijen, Keluarga Wanggai Binaan Intel Amerika, 7-20 April 2006.
[33] Dr.
George Junus Aditjondro, Op. Cit., hal. 29.
[34] Amnesty
International adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berkedudukan di
London Inggris yang bergerak di bidang penegakan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
[35]
Yakobus F. Dumupa, Suaka Politik: Perang Diplomasi Indonesia versus Papua Barat
dan Perjuangan Kemerdekaan Papua Barat (sebuah buku baru yang akan
diterbitkan dalam waktu dekat).
[36]
Data ini tidak termasuk pelanggaran HAM yang terjadi setelah tahun 2000. Selain
itu data ini tidak termasuk semua wilayah Papua Barat. Yorrys Th. Raweyai, Op.
Cit., 57.
[37]
Penulis lebih suka menyebut Presiden Soeharto dengan sebutan “raja” menggatikan
kata Presiden. Hal ini dikarenakan oleh praktek politik-pemerintahan era Orde
Baru yang dijalankan oleh Soeharto dengan mengadopsi “gaya”politik-pemerintahan
raja-raja Jawa kuno.
[38]
Yakobus F. Dumupa, Pemekaran Propinsi Irian Jaya: Dari Manipulasi Aspirasi
Sampai Konspirasi Politik (sebuah buku baru yang akan diterbitkan dalam
waktu dekat).
[39]
T-100 adalah istilah yang diberikan oleh Penulis untuk menyebut Tim Seratus.
Istilah ini tidak seperti biasanya penulisan dan penyebutan “Tim Seratus” atau
“Tim 100” selama ini. Tetapi esensinya sama saja yaitu dalam menunjuk “Tim
Seratus”, yang berbeda hanya pada penulisan dan penyebutan.
[40]
Mengenai Resolusi Kongres selengkapnya lihat: Agus A. Alua, Op. Cit., hal.
97
[41]
Sebenarnya menurut Sem Karoba, dkk., ada tujuh jenis orang Papua dalam cara
pandang dan cara tindak dalam menempatkan diri terhadap perjuangan kemerdekaan
Papua Barat. Bagian ini diambil dikutip dari pendapat Sem Karoba, dkk. dengan
banyak perubahan dalam tulisan ini. Selengkapnya lihat: Sem Karoba, dkk.,
Masyarakat Adat Menggugat: Mengungkap para Musuh Masyarakat Adat dan Cara
Melawan Mereka, Watch Papua, Yogyakarta, 2004. Hal. 74.
About Unknown
Adds a short author bio after every single post on your blog. Also, It's mainly a matter of keeping lists of possible information, and then figuring out what is relevant to a particular editor's needs.
Tidak ada komentar: