Most Popular
This Week
Sebuah Peristiwa Pengibaran Bendera Bersejarah Sinyal Kebangkitan untuk Nasib Papua Barat
Klaim Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri adalah mendapatkan dasar internasional . Tapi untuk ini menjadi kenyataan , lebih banyak pe...
MATERI PENDIDIKAN POLITIK ( DIKPOL ) "TENTANG GERAKAN PERJUANGAN RAKYAT PAPUA"
Papua Bandung - Puluhan Mahasiswa papua se-jawa bali yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua ( AMP ) Mengikuti Materi Pendidikan Pol...
Popular Posts
Latest Stories
What is new?
Comments
What They says?
GENOSIDA BERKEDOK KONFLIK SOSIAL DI TIMIKA
Ilustrasi/ Moyai Kedee |
Genosida atau pembasmian etnik atau pembunuhan orang Papua belum diakhir oleh colonial negara Indonesia. Masih terus dilakukan dengan berbagai pendekatan di Tanah Papua.
Genosida adalah suatu tindakan kekerasan yang dapat dilakukan atas nama bangsa, atas nama ras, atas nama agama, atas nama suatu kelompok tertentu. Pengertian ini sudah disebutkan dan ditekankan dalam konferensi Umum PBB (United Nations) tahun 1948. Genocide atau genodisa adalah pembunuhan atau pemusnahan secara berencana terhadap suatu golongan, kelompok bangsa yang dilakukan oleh bangsa lain karena perbedaan ras, agama, keyakinan, ideologi dan identitas.
Perebutan Proyek Jalan Timika ke Deiyai
Para pengusaha Papua dan non Papua saling merebutkan proyek-proyek di sekitar poros jalan Timika-Paniai. Yang berhak mengatur dan mengelola potensi alam di wilayah sana adalah masyarakat adat yakni suku Kamoro, suku Mee dan suku Moni sebagai pemilik hal ulayat. Maka para penguasaha siapa pun tidak memilih hak mutltak untuk mengatur kekyaan alam.
Konflik kepentingan ini sudah ada sejak jalan mulai dibuka dari Iwaka Timika menuju Paniai. Ketua Penguasa Asli Papua, John Haluk dipersalahkan Pimpinan TNI/POLRI dan pemerintah karena aparat keamanan dan pemerintah merasa tidak bebas mencuri kekayaan alam di wilayah itu. Lebih dari itu, Negara masih tidak suka orang Papua menjadi sukses di bidang ekonomi dan usaha-usaha sekalipun Indonesia bicara banyak tentang kesejahteraan orang Papua. Aneh tapi begitulah budaya Indonesia dalam membangun Papua.
Orang Non Papua Merampas Tanah Adat
Para pendatang pun berbodong-bondong merampas tanah-tanah adat di wilayah sana. Seluruh tanah bagian laut yang menjadi milik suku Kamoro masuk tanpa permisi kepada pemilik dan Dewan Adat Wilayah Bomberai dan Mee Pago. Ini juga termasuk para pengusaha yang saling kompetisi di wilayah Timika, khususnya di poros Jalan Timika-Deiyai/Paniai. Potensi perampasan tanah akan terjadi jika hanya memikirkan uang yang tak mampu digandakan menjadi banyak.
Kepentingan Kepala Suku
Para kepala suku Kamoro, Kepala suku Mee dan dan kepala suku Moni Migani tak mampu melindungi masyarakat adat. Para intelektual adat tersebut tak mampu mengatasi konflik sosial. Bahkan sebagian dari mereka sudah menjadi bagian dari jaringan intelijent Indonesia untuk mendapatkan uang. Jabatan adat dimanfaatkan untuk menghancurkan orang Papua.
Wacana TPN-OPM di Kali Pindah-Pindah
Pimpinan TNI/POLRI mengelola wacana bahwa di wilayah kali pindah-pindah itu telah dikuasai oleh TPN-OPM dari Paniai. Wacana ini sengaja dikelola untuk mendirikan pos pengamanan TNI/POLRI di wilayah itu. Karena kenyataannya adalah tidak ada TPN-OPM yang masuk di wilayah itu. Masyarakat saja tidak ada yang tinggal kecuali para pendatang yang masuk merampas pohon-pohon dan tanah-tanah di wilayah itu.
Himbauan sebagai kesadaran palsu
Hampir setiap hari, media cetak harian yang ada di Timika selalu memberitakan himbauan dan serius dari aparat keamanan maupun pemerintah daerah serta tokoh masyarakat. Namun cara ini tidak pernah dibaca oleh masyarakat yang terlibat dalam konflik sosial itu. Maka cara ini merupakan kesadaran palsu yang dibangun dengan sengaja. Bahkan sebagai upaya mengindar dari kontrol sosial untuk melaksanakan tugas sebagai pemimpin di tengah masyarakat.
Media cetak ikut mendukung
Setiap media cetak (maupun media televise) meliput saat terjadi konflik sosial, namun pemberitaan di media hanya sebatas jumlah korban. Tidak pernah media yang tampil sebagai media kritis, karena konflik sosial juga sebagai lahan kehidupan bagi media. Dnegan kejadian konflik sosial ini, media cetak menjadi laku dibeli oleh masyarakat lain untuk mengetahui ritual pemusnahan etnik Papua tersebut.
Media cetak juga tidak pernah protes sikap pembiaran aparat keamanan dan sikap menonton, maka tidak ada media cetak yang berkarya sebagai media control sosial dan media perdamaian konflik sosial.
Mobil rental dan Pembunuh Bayaran
Operasi pembunuhan di kota dan di pinggiran kota telah membuat hidup masyarakat tidak aman dan terancam. Terutama masyarakat tujuh suku di Kabupaten Mimika. Hal ini terjadi karena operasi pembunuhan dengan menggunakan mobil kaca gelap. Isu yang berkembang adalah masyarakat yang berkonflik di Jayanti menggunakan mobil kaca gelap untuk operasi pembunuhan di kota Timika. Namun beberapa kali penemuan sejumlah mobil kaca gelap adalah bukan masyarakat melainkan masyarakat non Papua campur masyarakat Papua. Bahkan sopir yang dilihat memiliki ciri-ciri aparat keamanan, bukan masyarakat biasa. Modus seperti ini hanya dapat dilakukan oleh para pembunuh bayaran yang sering terjadi di berbagai kota besar dan di negara-negara maju.
Orang mabuk segera dipenjarakan, orang saling panah ditonton
Polisi dicurigai sebagai salah satu otak dari konflik sosial di Timika karena kalau ada orang mabuk di kota, polisi cepat datang dan tangkap lalu dipenjarakan namun orang yang saling panah, justru polisi menjadi penonton, tidak tangkap. Padahal orang saling membunuh dengan busur panah itu adalah tindakan kejahatan ketimbangkan orang hanya mabuk lalu bicara dan ganggu-ganggu orang non Papua di pasar.
Pelihara konflik untuk ‘rampas’ APBD Mimika
Dengan pendekatan himbauan dan menonton saat masyarakat saling konflik, pemerintah dan aparat keamanan dicurigai untuk menghabiskan APBD Kabupaten Mimika tahun 2014. Karena konflik-konflik sosial sebelumnya yang terjadi di Kampung Kwamki Lama maupun di Tembagapura, pemerintah dan DPRD Mimika dengan segera mengeluarkan dana pengamanan yang cukup besar. Karena itu laporan penggunaan APBD Kabupaten Mimika, tidak transparan dan tidak diketahui oleh masyarakat.
Jumlah korban
Sejak pertengahan bulan Februari sampai akhir April 2014, telah tewas 25 orang tak berdosa baik yang mati di lokas konflik (Jayanti) maupun pembunuhan misterius di kota Timika. 6 orang ditemukan tewas di sekitar kota Timika dan 14 orang mati terbunuh di lokasi konflik.
Puluhan orang luka-luka ketika terjadi saling serang menyerang dengan busur dan panah serta harta benda dan ternak babi saling merampok.
Genosida pendekatan Konflik Sosial
Dengan jumlah orang Papua yang ditembak dan dipanah serta dibunuh, maka disimpulkan bahwa negara menggunakan metode metode konflik sosial (konflik antara sesame orang Papua) untuk membasmikan orang Papua. Dengan pendekatan konflik sosial, Indonesia ingin menghabiskan orang Papua berlahan-lahan. Dengan membiarkan konflik sosial tetap subur merupakan suatu sikap dan upaya Indonesia membunuh habis orang Papua.
Konflik sosial adalah cara baru Indonesia untuk membunuh habis orang Papua. Kalau tentara atau polisi yang membunuh akan disoroti oleh berbagai pihak sehingga harus kelola konflik sosial di Papua.
Konflik Jayanti Beda dengan Konflik Kwamki Lama
Masyarakat yang terlibat dalam konflik sosial adalah orang-orang yang tidak berpendidikan. Lalu siapa yang menjadi otak dan pengendali konflik sosial? Mungkin kita bisa katakan bahwa konflik Kwamki Lama di pimpin oleh Kepala Perang tetapi konflik sosial di Jayanti Iwaka sangat berbeda muatannya.
Masyarakat Timika mencurigai bahwa yang menjadi Kepala Konflik adalah Jaringan TNI/POLRI yakni orang-orang yang telah menjadi anggota organisasi keamanan seperti Barisan Merah Putih (BMP), Lembaga Masyarat Adat (LMA), LMR Republik Indonesia dan Milisi. Lembaga-lembaga TNI/POLRI ini sudah mulai dibentuk sejak Otonomi Khusus diterapkan.
Semua golongan masyarakat sudah terlibat dan menjadi anggota resmi dalam organisasi taktik Indonesia untuk membunuh orang Papua. Petugas gereja Katolik maupun protestan saja sudah masuk menjadi anggota Intelijent tersebut, apalagi masyarakat sipil dan struktur pemerintah.
Para pemimpin adat, pimpinan gereja dan pemerintah tidak bicara dan tidak mengambil langkah-langkah keselamatan karena mereka juga ingin orang Papua tak berdosa mati dengan pendekatan konflik sosial itu. Lalu gosip di antara masyarakat bahwa semua pimpinan juga makan uang haram yakni uang tutup mulut dan tidak bicara.
Pindahkan Konflik di Jayanti
Awalnya masyarakat saling serang di poros jalan raya Timika-Nabire, namun kemudian dipindahkan DI Jayanti. Agar aktivitas proyek Kelapa Sawit dapat berjalan lancar. Karena kayu-kayu, material batu dan pasir yang diambil di wilayah sana dapat dimobiliasi ke Timika dan luar Timika, maka aparat keamanan memindahkan konflik sosial ke Jayanti yang jauh dari poros jalan raya Timika-Paniai.
Masyarakat Tidak Beribadah
Jalan poros Timika-Paniai tidak ada gereja, yang ada hanya ada di Jayanti, yakni Gereja Katolik dan Gereja Kingmi (GKIP). Masyarakat dibuat menjadi orang-orang yang tidak takut pada Tuhan. Negara sengaja kelola konflik sosial di halaman Gereja untuk menghancurkan umat Kristiani tetapi pimpinan Gereja Katolik dan Pimpinan Gereja Kingmi tidak bersikap tegas dan tidak tuntut pemerintah dan aparat keamanan segera hentikan konflik sosial yang terus mengorbankan umat tak berdosa. Jika gereja saja diam, maka pihak-pihak yang terlibat dan menjadi pengendali pengatur konflik akan semakin menggila membunuh orang-orang tak berdosa.
Polisi dan Tentara Menonton
Aparat keamanan diturunkan dalam ribuan personil pun tidak akan selesai karena mereka adalah penonton setia. Yang penting ada dana keamanan dari Pemerintah setiap hari. Itu yang dicari, bukan turun ke lokasi untuk menyelesaikan konflik sosial. Kalau konflik sosial antara orang Papua dengan orang pendatang, pasti tanpa uang pun aparat keamanan langsung selesaikan dalam waktu singkat tapi konflik antara orang Papua sendiri sehingga dibiarkan orang Papua saling bunuh membunuh. (Redaksi EMUDAI)
About Unknown
Adds a short author bio after every single post on your blog. Also, It's mainly a matter of keeping lists of possible information, and then figuring out what is relevant to a particular editor's needs.
Tidak ada komentar: